Tsaqafah.id – Dari kejauhan, terdengar pembacaan khotmil Qur’an di berbagai majelis yang saling sahut-menyahut, itu tanda mau Jum’at Legi. Di desa saya, al-Qur’an itu kerapkali dihidupkan (living Qur’an) pada hari yang dianggap sakral oleh orang Jawa. Lantunan ayat suci yang berbahasa arab itu sangat lumrah dikumandangkan melalui pengeras suara.
Bahasa Arab memang sudah kadung dianggap suci. Orang non-Muslim, terutama Muslim sendiri yang terganggu dengan berbagai lantunan bahasa arab macam Azan, Tahlilan, Salawatan dianggap setan. Padahal memang yang melantunkan kurang enak didengar, bukan vokalis top macam Maheer Zain atau Nissa Sabyan.
Pembacaan doa dalam berbagai acara sudah umum diwujudkan dalam bahasa Arab. Yang memimpin seringkali orang yang tahu dan paham Agama Islam. Soal isi doa sesuai apa tidak dengan konteksnya, yang penting dua hal itu: berbahasa arab dan orang ‘alim. Dan, fakta di lapangan, legal-formal di masyarakat memang seperti itu. Terdengar Muslim tenanan. Bukan Muslim abangan, apalagi Muslim KTP.
Mengingat al-Qur’an sebagai kitab suci umat Muslim berbahasa Arab, maka tidak mengherankan jika bahasa Arab seolah sakral dan merupakan “bahasanya Tuhan”. Atau paling tidak, mendekati bahasa Tuhan.
Dulu, jaman Kartini era 1800 M, penerjemahan al-Qur’an dianggap tabu, dan ini didukung oleh Wong Londo. Nggak ilok. Al-Qur’an dibiarkan dalam bahasa ‘suci’nya. Dibiarkan membisu. Begitupun dengan hadis sebagai sumber kedua umat Muslim yang juga berbahasa arab.
Meski kini al-Qur’an dan hadis sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa guna bisa dipahami oleh umatnya, orang yang bisa sampai hafal kedua teks ‘suci’ tersebut dinilai ‘alim dan Muslim tenanan. Bukan kaleng-kaleng.
Baca Juga: Jejak Sayyid Muhammad Jamalullail di Tanah Mandar
Kita lihat Gus Baha’ misalnya. Di setiap pengajiannya, meski menggunakan bahasa jawa, hafalan beliau terhadap teks ‘suci’ berbahasa arab terkesan Muslim tenanan. Terlebih lagi ada sisipan qoul ulama dari berbagai kitab turats, nggak terima Muslim tenanan, tapi juga ‘alim bin faqih fi al-din.
Soal tindak-tanduk, apakah yang didakwahkan sesuai dengan perilakunya, apakah teori sesuai prakteknya, itu beda soal. Itu soal akhlak. Yang penting, modal utama untuk menjadi Muslim tenanan, orang harus bisa berbahasa arab.
Minimal tahu dan pasif. Nggak bisa ngomong bahasa arab tapi jago membaca kitab arab. Nggak bisa melantunkan bacaan berbahasa arab macam salat, minimal tidak asing dengan suara yang berbahasa arab.
Ilmu alat seperti nahwu dan saraf minimal umat Muslim di seluruh dunia pernah mempelajarinya. Atau paling tidak pernah mendengar dua makhluk astral dari bangsa arab itu: nahwu dan saraf.
Kalau nahwu itu permainan harakat di akhir kata, sementara saraf permainan kata yang bisa berubah sesuai makna yang diinginkan. Jika memang umat Muslim susah menghafalkan arti nahwu dan saraf, minimal hafal bahwa nahwu itu bapaknya bahasa arab, sementara saraf itu ibunya.
Selain itu, untuk menjadi Muslim tenanan, orang harus tahu bagaimana caranya membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Bacaan yang dengung, samar, jelas, panjang, pendek, tanda berhenti atau terus, itu minimal harus dipelajari. Harus ditempatkan sesuai porsinya.
Itu ada ilmunya sendiri, namanya tajwid. Orang yang membaca al-Qur’an dengan tetap berpedoman pada ilmu tajwid sudah bisa dianggap Muslim tenanan. Apalagi ia Qori’, suaranya merdu dan diundang kesana-kemari. Nggak cukup Muslim tenanan, tapi juga tenanan keislamannya.
Soal ia apakah tahu isi ayat al-Qur’an atau tidak, itu beda soal. Itu soal ulum al-Qur’an wa al-Tafsir. Begitupun dengan tingkah lakunya, sesuai atau tidak dengan apa yang dibaca, itu soal akhlak.
Baca Juga: Serius Tapi Luwes: Seni Menjalani Hidup
Hal yang tak kalah penting dari penggunaan berbahasa arab yaitu umat Muslim juga sepatutnya memakai busana ala Muslim atau Muslimah tenanan, yakni menutup aurat. Laki-laki memakai mahkota kopyah/peci sementara perempuan memakai mahkota hijab/jilbab.
Sudah lazim diketahui, bahwa tren pakaian Muslim dan Muslimah itu masuk dalam standar pakaian “rapi dan sopan”. Kurang pantas orang memakai kopyah atau jilbab tapi baju dan celananya pendek. Soal ia kalau tertawa cekakakan atau tingkah lakunya pencilakan, itu beda soal. Begitupun dengan pakaian yang bersih, rapi, dan wangi, itu semua soal akhlak.
Bicara soal akhlak; baik-buruk dan pantas-tidak pantas, untuk menjadi Muslim tenanan penganutnya juga harus belajar. Bahkan sampai mati.
Orang kalau sudah memakai busana Muslim atau Muslimah, tapi tingkahnya melanggar batas legal-formal masyarakat sekitar, label menjadi Muslim tenanan itu luntur. Begitu juga mereka yang paham agama Islam tapi mengambil hak orang lain, dan berdakwah tapi tidak sesuai dengan apa yang didakwahkannya.
Baca Juga: Sampai Tanpa Terburu-buru
Bagaimana dengan gembong teroris yang memakai busana Muslim, pintar membaca al-Qur’an, dan dakwahnya sesuai dengan apa yang didakwahkannya tapi membunuh orang dengan mengatasnamakan takbir dan basmalah? Apakah patut mereka menyandang gelar Muslim tenanan?
Akhlak itu indah dan ramah. Estetik. Ia penyempurna dari ilmu seseorang. Ia tidak membunuh dan saling mengasihi terhadap sesama makhluk Allah. Orang kalau punya unggah-ungguh, menjadi Muslim tenanan yang sempurna, sudah pasti dihormati banyak orang.
Ada yang bilang, akhlak itu lebih tinggi daripada ilmu. Itu tak sepenuhnya salah, karena akhlak pun membutuhkan ilmu. Tanpa ilmu, akhlak tidak berjalan. Ilmu itu membuka jalan seseorang, sementara akhlak menuntun jalannya seseorang menjadi baik. Menjadi sempurna, menjadi Muslim tenanan yang baik dan paripurna.