Serius Tapi Luwes: Seni Menjalani Hidup

Serius Tapi Luwes: Seni Menjalani Hidup

11 April 2025
80 dilihat
3 menits, 3 detik

Tsaqafah.id – Dalam hidup, ada sesuatu yang menyentuh hati ketika melihat seseorang mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh—sabar, telaten, dan yang tak kalah penting adalah ikhlas.

Jika kalian pernah ziarah makam ke Tebuireng, pasti akan menemukan kata mutiara dari Mbah Hasyim Asy’ari (Allahu yarham); “Jika suatu amal tidak dilandasi keikhlasan, maka tidak akan tambah kecuali kegelapan di dalam hati”.

Waktu membaca itu, saya disadarkan untuk mencoba segala sesuatu dengan ikhlas. Namun, ada yang kurang dari hanya sekedar ikhlas, itu adalah serius.

Baca Juga: Menjadi Muslim Liberal: Menuju Kedewasaan Intelektual

Serius Soal Apapun Itu

Dalam dunia pekerjaan, terutama di bidang pelayanan, keseriusan bukan hanya soal prosedur, melainkan soal bagaimana hati bekerja seirama dengan tangan. Mereka yang melayani orang lain dengan profesionalisme tinggi, ketulusan, dan sepenuh hati, biasanya menghadirkan rasa nyaman yang sulit dilupakan oleh siapa pun yang mereka layani. Sikap seperti ini bukan hanya membangun reputasi, tetapi juga memperkokoh fondasi kepercayaan antara pelayan dan pelanggan.

Tidak jarang, kesungguhan semacam ini mendatangkan balasan yang bersifat materi. Uang tip, hadiah, bonus, atau bahkan tawaran pekerjaan baru kerap menjadi imbalan tak terduga bagi mereka yang totalitas dalam pekerjaannya. Bukan semata-mata karena mereka mengharapkan itu, melainkan karena keseriusan memang memancarkan daya tariknya sendiri. Orang cenderung ingin membalas energi positif yang mereka rasakan, dan uang sering kali menjadi bentuk apresiasi yang paling sederhana.

Selain materi, ada pula balasan yang jauh lebih berharga: hubungan antar manusia yang tulus. Keseriusan dalam pelayanan bisa membuka pintu persahabatan baru, jaringan profesional yang luas, bahkan kedekatan yang setara dengan persaudaraan. Di dunia yang makin individualistik ini, menemukan orang yang bekerja dengan hati sering kali terasa seperti menemukan oasis di tengah padang pasir. Dan ikatan yang terjalin karena ketulusan itu, biasanya bertahan lebih lama daripada sekadar transaksi bisnis biasa.

Baca Juga: Sampai Tanpa Terburu-buru

Contoh lain bisa kita lihat di dunia belajar. Mereka yang benar-benar serius menuntut ilmu, entah lewat jalur formal atau non-formal biasanya akan menuai hasil manis. Keseriusan dalam belajar ini sering kali melahirkan karya nyata, seperti buku, artikel, penelitian, atau bahkan sekadar ide-ide brilian yang bisa bikin orang lain geleng-geleng kagum. Tidak jarang, usaha keras itu berbuah lebih dari sekadar nilai rapor: ia menjelma menjadi kontribusi nyata kepada masyarakat, bahkan bisa mempengaruhi orang lain dan dunia.

Lebih jauh lagi, keseriusan menuntut ilmu bisa membawa dampak yang tidak main-main. Ia membuka jalan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, menawarkan peluang pekerjaan yang lebih layak, dan tentu saja, memperbesar kemungkinan rezeki yang berlimpah—bukan cuma dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk kesempatan, relasi, dan pengalaman hidup yang tak ternilai.

Semua itu bermula dari satu sikap sederhana namun mahal: mau serius belajar.

Keseriusan juga berlaku dalam hubungan antar manusia—dalam pertemanan, persaudaraan, maupun hubungan pasangan hidup. Mereka yang bersungguh-sungguh menjaga relasi, terus menyapa, saling membantu, dan tetap memelihara hubungan meski pernah tersakiti, sering kali merasakan betapa beratnya berpisah. Perpisahan itu, entah karena keinginan sendiri, campur tangan orang lain, atau takdir, kerap meninggalkan air mata.

Bahkan dalam hal sederhana seperti bercanda, keseriusan punya tempat. Guyonan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh—tanpa merendahkan orang lain—biasanya lebih berkesan. Begitu juga dalam permainan, seperti sepak bola. Kalau tidak dimainkan dengan serius, kita hanya akan jadi bahan cemoohan.

Serius yang Luwes dan Tepat

Dari semua hal itu, keseriusan juga perlu diimbangi keluwesan dan ketepatan. Keseriusan yang berlebihan bisa membuat kita tampak kaku, kolot, bahkan dibenci orang sekitar. Ibarat beribadah terus-menerus tanpa memperhatikan lingkungan atau mengabaikan kebutuhan sesama—itu bukan hanya tidak bijaksana, tapi juga terkesan arogan.

Keseriusan mesti tepat sasaran. Misalnya, ketika kita mengharapkan jawaban serius dari seseorang, namun mereka malah menganggapnya bercanda, tentu rasanya tidak nyaman. Demikian pula dalam kehidupan sosial: saat momen membutuhkan kerja sama dan gotong royong, justru kita malah sibuk sendiri mengurusi hal yang kurang penting.

Karena itu, keseriusan butuh unggah-ungguh, keluwesan, dan etika komunikasi. Menjalani hidup dengan keseriusan yang kaku dan tanpa tepo-seliro bisa membuat kita terasing.

Baca Juga: Semua itu adalah Jarak

Sebaliknya, keseriusan yang seimbang, luwes, dan tepat, akan membentuk pribadi yang kuat, sehat, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi kehidupan—minimal, kita bisa bertahan dan tidak sampai putus asa.

Lebih jauh lagi, keseriusan yang sehat ini membawa manfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga bagi banyak orang. Kita bisa berbagi kesuksesan, berkolaborasi, dan saling menguatkan dalam perjalanan hidup ini.

Profil Penulis
Ahmad Fauzan
Ahmad Fauzan
Penulis Tsaqafah.id

9 Artikel

SELENGKAPNYA