Tsaqafah.id – Ketika kita mendengar kata liberal, seringkali menerjemahkannya dengan makna yang tidak mengenakan. Pasalnya kata liberal dapat diartikan secara harfiah sebagai kebebasan individu, seperti kebebasan dalam berpikir, kebebasan berbicaara bahkan dalam beragama (Sya’ban, dkk, 2024). Sehingga dalam Islam, bisa dikatakan mereka yang mengedepankan kebebasan berpikir dalam persoalan agama, adalah golongan yang bercorak liberal. Sementara sebaliknya, yang selalu menjunjung tinggi teks-teks keagamaan, biasa disebut sebagai golongan literal.
Sebab kehancuran kerajaan Granada di Spanyol, dapat kita telisik dikarenakan oleh ketegangan dua kubu, yakni liberal dan literal yang fanatik. Sehingga ketegangan dan kasualitas di antara kedua kubu di atas, bisa kita analisa lagi, untuk mengatahui bagaimana pengaruh pola pemikiran liberal kini dan di sini?
Faham liberalisme di Indonesia, dapat kita deteksi melalui Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menyokong pemahaman liberal dalam beberapa aspek kehidupan. Jaringan yang didirikan Ulil Abshar Abdalla ini setidaknya memperjuangkan empat agenda utamanya, yaitu konsep pembinaan negara sekuler, konsep pluralisme agama, emansipasi wanita dan kebebasan dalam berpendapat (ijtihad) (Bakar, Jamaluddin, 2014).
Baca Juga: Sampai Tanpa Terburu-buru
Dalam agama lain pun, faham liberalisme sudah meresap dan mempengaruhi terhadap pemikiran para agamawan. Seperti pendirian mazhab protestan dalam agama Kristen yang memiliki prinsip secara individu dalam membaca dan menafsiri kitab sucinya. Pun juga dalam agama Yahudi yang dikenal dengan gerakan Liberal Judaisme, yang mengusahakan ajaran agama Yahudi dengan nilai-nilai pencerahan Eropa agar sesuai, dan dengan mendasarkannya pada pemikiran rasional dan penemuan sains.
Dalam sejarah pemikiran Islam sendiri proses liberalisasi dapat dirasakan denyutnya melalui gerakan-gerakan pembaharuan, seperti gerakan At-Tahthawi Muslim Feminis asal Mesir yang mempertanyakan kemunduran Islam, dan kemudian para cendikiawan muslim mencoba mencari jawabannya dengan mencontohkan cara hidup negara berkembang, sehingga Islam dapat mengambil contohnya dan meminta orang Timur untuk mengikuti cara hidup Barat.
Pendeknya, Islam liberal memiliki karakteristik yang mana, mereka mengkategorikan beberapa aspek Islam, seperti dibukanya pintu ijtihad kepada semua dimensi Islam, lebih mengutamakan semangat religio etik bukan teks, meyakini kebenaran yang bersifat relatif, terbuka dan plural, serta mepercayai kebebasan beragama dan cenderung memihak pada kaum minoritas.
Baca Juga: Fenomena Sound Horeg dalam Kajian Fiqih
Salahkah Menjadi Liberal?
Dalam memahami ajaran Agama, kaum liberal cenderung mengedepankan akalnya tanpa menimbang aspek lainnya seperti, teks dan juga konteks. Ahmad Fauzi Muslim Noor Sya’ban dkk dalam Islam dan Liberalisme (2024), menyampaikan bahwa liberalisme sangat jauh dari nilai-nilai Islam yang menyemangatkan aspek mashlahat. Pasalanya, liberalisme menitikberatkan pada kebebasan saja tanpa menimbang dari sudut kemashlahatan umat Islam.
Memang secara logis tidak bisa aspek akal dinafikan dalam memahami sebuah teks, sebagaimana disampaikan oleh Fakhrudin ar-Razi dalam Al-Mahshul Min ‘Ilmil Ushul:
“pembenaraan naqli melalui pendustaan aqli tentu meniscayakan pendustaan naqli itu sendiri”
Sehingga menurut KH Husein Muhammad dalam Memahami Cita-Cita Teks Agama (2024), ada beberapa aspek pendekatan untuk merekontruksi pemikiran sarjana muslimin terdahulu, di antaranya:
- Pendekatan rasional, seperti yang disampaikan Ar-Razi di atas. Yang berarti bahwa teks-teks keagamaan harus dipahai secara substantif dan atau logis.
- Pendekatan empiris, seperti Imam Syafi’i dalam menentukan rumusan fikih tentang masa haid dan kedewasaan seseorang, beliau menggunakan pendekatan empiris (Istiqra’).
- Pendekatan dalam menganalisis dan mengkaji teks-teks otoritas melalui pendekatan dalam aspek bahasa (siyaqul lisani), dalam aspek sejarah sosial (siyaqu zhuruf wa ahwalil ijtima’iy), dan pendekatan dalam aspek kebudayaan (siyaqul madani).
- Kaum muslim tidak seharusnya untuk menutup pada produk-produk pemikiran lain.
Dengan beberapa pendekatan di atas, keniscayaan pada produk pemikiran kaum muslim terdahulu dapat dikontekstualisasikan secara akurat dan seimbang.
Baca Juga: Semua itu adalah Jarak
Namun salahkah, jika kita atau mereka ketika berada di dalam lingkaran faham liberalisme?
Suatu kedewasaan dapat digapai selalu dengan rintangan dan pengalaman, seperti halnya Nabi Musa yang diuji melalui nabiyyullah Khidir As, yang menurut hemat penulis memiliki ‘’ibrah untuk menggapai kedewasaan spiritual Nabi Musa As. Pun juga kita atau mereka yang berfaham liberal, biarkan saja. Sebab jika moment of truth, masa-masa kebenaran sudah di depan mata maka kita harus menghindar seperti apa lagi. Seperti halnya ketika rasa sakit menghampiri kita, maka kita tidak bisa lari dari kenyataan itu.
Dan menjadi muslim yang bercorak liberal adalah sebagaian proses dari pendewasaan intelektual. Sebab tujuan pemikiran sarjana muslim tidak mungkin untuk mendorong mundur peradaban kaum Islam. Seperti yang dikatakan Gus Ulil sendiri bahwa “Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia”.
Baca Juga: Dua Cara Al-Qur’an Merespon Praktik Poligami
Sebab Islam bukan semata-mata persoalan akidah dan syari’at, sebagaimana yang disampaiakan KH Said Aqil Siraj mantan ketua umum PBNU, bahwa: “Islam bukan hanya sebatas akidah dan syariat, akan tetapi juga agama ilmu pengetahuan dan kebudayaan, agama sastra dan peradaban, agama kemajuan dan kemanusiaan.”.
Walhasil kita tidak perlu untuk memonopoli kebenaran, seperti yang disampaikan Imam Syafi’i “pendapat mereka salah mungkin jadi benar, dan pendapat saya benar bisa jadi salah”.
Zaman yang terus berkembang meniscayakan kita untuk memikirkan kembali pemikiran-pemikiran yang sudah tidak lagi relevan. Sekian.
Wallahu A’lam Bishowab.