Di satu sisi Nabi menikahi lebih dari satu perempuan meskipun dengan tujuan tertentu. Di sisi lain Nabi tidak menghendaki poligami ketika putrinya hendak dimadu oleh Sayyidina Ali.
Tsaqafah.id – Jika menikah adalah bahagia dan duka yang dicampur, lalu bagaimana dengan poligami. Pernikahan dan jalan terjalnya tidak selalu membawa dua insan ke titik akhir kebahagiaan, lalu bagaimana dengan jalan terjal yang dibuat-buat di atas dasar teologis.
Teks-teks keagamaan dan beberapa pendapat ulama yang selalu dijadikan dasar atas diperbolehkannya poligami, adalah surat an-Nisa ayat 3:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim. (An-Nisā’ [4]:3)”.
Selain ayat di atas, tak lupa pula hadist Nabi yang diceritakan oleh Abdullah bin Umar, ketika seorang Ghilan bin Salamah ats-Tsaqofi yang memiliki sepuluh istri dan semuanya masuk Islam bersamaan dengan Ghilan bin Salamah ats-Tsaqofi, Nabi kemudian menyarankannya untuk mengambil empat orang saja. (HR, Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Baca Juga: Air Untuk Bertahan dan Melanjutkan Hidup
Hadist di atas sudah dapat direka bahwa kelindan teks agama tentang poligami bukan untuk menganjurkan poligami, tetapi sikap persuasif Islam untuk menghilangkan budaya poligami yang sudah lebih lama mengakar di dalam tubuh masyarakat pada saat itu. Karena dalam sejarahnya, poligami sudah menjadi hal yang biasa bahkan menjadi suatu kebanggan bagi beberapa orang pada masa sebelum Nabi membawakan Islam.
Jika saja ajaran Islam menghilangkan tradisi poligami tersebut secara tersurat, maka kemarahan sekaligus sikap ekstrim terhadap ajaran Islam menjadi dugaan yang sangat kuat. Sebab pada masa sebelum Islam datang, budaya dan sistem sosial masyarakat Arabia disebut sebagai bangsa jahiliyyah yang berkonotasi kebodohan. Namun menurut Karen Armstrong, yang dikutip oleh KH Husein Muhammad (2020), Armstrong mengartikan seperti ini, “meskipun kata jahil berkonotasikan kebodohan, arti utamanya adalah sikap pemarah”.
Sekali lagi, respon Islam mengenai eksistensi poligami ini bukanlah untuk menganjurkan, namum dalam rangka mereformasi sosial dan hukum. Pernyataan poligami dalam ajaran Islam justru untuk mengeliminasi praktiknya selangkah demi selangkah hingga menjadikannya tiada, yang menurut KH Husein Muhammad (2020) ada dua cara al-Qur’an dalam merespon praktik poligami. Pertama dengan mengurangi jumlahnya dengan catatan penting secara kritis dan transformatif. Yang kedua mengarhkannya pada penegakkan keadilan.
Baca Juga: Puasa dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Refleksi dari Faedah Puasa dalam Kitab Maqasid al-Siyam
Laki-laki Tidak Lagi Bisa Berpoligami
Alasan mereka yang memadu isterinya seringkali mengatakan untuk memenuhi hasrat seksual yang tidak cukup dengan satu perempuan, dan jika tidak dipenuhi maka kata zina menjadi tawarannya. Dengan kurangnya suami atas satu perempuan, poligami menjadi jalan alternatif untuk menghindari zina, sebab keharaman atas zina sudah jelas secara tekstual, sementara poligami masih dalam ranah ktroversial (khilafiyah) bahkan ada yang mengatakannya sunnah dengan menyandarkan praktik poligami Nabi.
Namun hal demikian, harus dipikirkan lebih jauh lagi. Pemenuhan atas hasrat seksual adalah hal yang sudah tersedia bagi dirinya, yaitu isterinya. Sementara kepuasan seksual dengan berpoligami belum terjamin adanya. Sehingga kebahagiaan dalam berpoligami hanya semata kemungkinan yang lebih lemah dari dua asumsi. Sementara adanya potensi bahaya dari berpoligami sudah terbukti, sebut saja seperti kasus pembunuhan atau permusuhan antara kedua isteri atau anak dengan ayah. Di sisi lain, alasan tersebut lebih mementingkan diri atas pemenuhan libido yang selalu menuntut ketidak puasan.
Selanjutnya, anggapan atas pertentangan dalil juga tidak dapat dielakkan, yang mana di satu sisi Nabi menikahi lebih dari satu perempuan meskipun dengan tujuan tertentu. Di sisi lain Nabi tidak menghendaki poligami ketika putrinya hendak dimadu oleh Sayyidina Ali. Dari sini agaknya menarik untuk mengemukakan pendapat ar-Razi yang dikutip KH Husein Muhammad dalam Bukunya Poligami Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai (2020), ar-Razi berkata:
“Sebuah pernyataan adalah lebih kuat dari perbuatan. Pertama, karena pernyataan dapat dipahami tanpa memerlukan tindakan, sementara sebuah tindakan tidak cukup mudah dipahami, kecuali dijelaskan dengan kata-kata. Hal yang tidak perlu dijelaskan lebih diutamakan daripada hal yang perlu penjelasan. Kedua, suatu pernyataan hukum dapat memasukan semua orang. Sementaraa, sebuah tindakan belum tentu memasukkan orang lain”.
Baca Juga: At-Tibru al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk: The Ethics of Magnanimity Ulama dan Pemimpin
Pandangan senada juga disampaikan oleh Badrudin az-Zarkasy sosok ulama ahli ushul terkemuka, dalam kitabnya al-Bahr al-Muhith fiil Ushul Fiqh beliau mengatakan: “jika ada kontradiksi antara ucapan dan perbuatan Nabi, maka kami berpegang pada ucapan beliau, sedangkan perbuatan beliau merupakan tindakan khusus bagi beliau sendiri” (Muhammad, 2020: 67-71).
Dengan demikian, adanya teks Agama yang menyoal poligami bukanlah untuk melegitimasi tindakan monopoli seksualitas seorang suami. Alih-alih demikian, justru teks-teks tersebut merupakan upaya persuasif ajaran Islam untuk mereformasi tradisi sosial yang cenderung menyakiti perempuan sekaligus sudah mengakar kuat pada saat itu.
Wallahu a’lam bishowab.