Perempuan terpelajar dapat berdialog baik dengan seorang laki-laki, sehingga laki-laki tidak hanya mendapatkan kecantikan darinya saja. Lebih dari itu, kepandaian interaksi dalam bertukar pendapat dan juga menjadi contoh sekaligus lahan belajar bagi anak-anaknya.
Seperti itulah apa yang dikatakan oleh Syaikh Rifa’ah Al-Tahtawi, salah seorang ulama Feminis dari negeri Piramid, Mesir. Maqolah demikian menyiratkan pesan penting, betapa berharganya peran perempuan dalam kehidupan rumah tangga, yang menjadi induk lahirnya peradaban maju.
Namun realitasnya, langkah perempuan untuk mencapai apa yang ia cita-citakan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa tantangan yang sudah mengakar kuat dari kebudayaan yang selalu menganggap inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki belum juga dapat dinegasikan pada saat ini dan di sini.
Langkah perempuan tersendat oleh budaya, dan tak jarang pula dibantah dengan tafsir teks-teks keagamaan. Sebut saja dari beberapa kalangan agamawan yang masih belum menerima perempuan untuk tampil di ruang publik, seperti menduduki peran di kursi legislatif atau eksekutif (di ruang Pendidikan pun sama). Disadari atau tidak, hal demikian dapat menggeser mimpi perempuan untuk tampil ke ruang publik, yang akhirnya peran perempuan hanya berkutat di ruang domestik saja, inilah yang disebut domestikasi perempuan.
Baca Juga: Hari Perempuan, Inayah Wahid Ingatkan Peran Perempuan Pesantren dalam Mendorong Perubahan Sosial
Padahal, Allah SWT menjanjikan bagi mereka yang beriman dan orang-orang yang berilmu untuk diangkat derajatnya tanpa memandang ras, suku, dan jenis kelamin atau gender. Hak pendidikan untuk menjadi seorang yang terpelajar dalam bingkai Islam tidak dimonopoli oleh jenis kelamin tertentu atau golongan dan ras tertentu. berdasarkan Firman Allah Swt, yang artinya:
“Allah akan mengangkat orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Qs, Al-Mujadala [58]: 11).
Di samping itu, eksistensi perempuan dalam catatan sejarah Islam dapat kita jadikan sebagai motivasi sekaligus pembuka pintu pendidikan bagi perempuan kita, kini dan di sini. Sebut saja Sayyidah Nafisah adalah sosok perempuan intelektual yang asketis, yang darinya Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hambal menimba ilmu. Di barat, sosok filsuf sekaligus sufi ternama abad pertengahan kelahiran Eropa yakni Ibnu ‘Arabi juga berguru pada sufi perempuan yang bernama Zainab dan Yasimin. Pun juga, ratu Syajaratu ad-Duri yang menjadi ratu pertama dinasti Mamluk di Mesir. Selain itu, masih banyak lagi perempuan dan sederet prestasinya yang memberikan sumbangsih terhadap peradaban dan keislaman.
Pendidikan Perempuan, Masa Depan Anak, dan Kehidupan Ideal
Setiap kita, baik laki-laki atau perempuan yang hidup di dunia ini tanpa adanya ilmu yang membekali kita, tentu tidak bisa dielakkan bahwa kebodohan, kesesatan, dan juga kemiskinan akan menghampiri kita cepat atau lambat. Sebagaimana pepatah “ilmu adalah cahaya” yang sewaktu-waktu akan menuntun kita ke jalan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Baca Juga: KDRT dan An-Nisa Ayat 34: Tafsir yang Berkeadilan
Namun kenyataanya, masih banyak batu sandungan yang dialami oleh perempuan dalam meraih impiannya. Sebut saja stigma sosial yang masih melekat terhadap perempuan karir. Akses karir di ruang publik seharusnya tidak dibatasi hanya untuk laki-laki saja, sementara perempuan hanya berurusan dengan wilayah domestiknya yang berkelindan dengan dapur, kasur, dan sumur.
Sebab, keduanya dituntut atas peradaban emas dan kesejahteraan hidup manusia. Bahkan, sosok perempuan untuk masa depan dan peradaban luhur manusia lebih berpengaruh dibanding laki-laki, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Rifa’ah.
Begitu juga Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’ashirhah (2007) yang mengatakan: “ibu merupakan lahan belajar anak, jika engkau telah menyiapkan pendidikan seorang calon ibu, sama halnya engkau meneruskan calon penerus bangsa yang baik.”
Pendidikan perempuan yang mapan bukan sekedar menguntungkan dirinya saja, tetapi lebih dari itu masa depan anak, keluarga, bahkan kehidupan sosial masyarakat, berada di genggaman perempuan yang terdidik. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Meskipun begitu, orientasi pendidikan yang mesti diaksesnya harus berorientasi pada akhirat sekaligus duniawi. Jika orientasi akhirat bertujuan untuk meningkatkan kualitss ibadah kita kepada sang Tuhan, maka orientasi pendidikan duniawi memberikan kehidupan stabil di ruang lingkup sosial, politik, ekonomi, dan kesehatan.
Baca Juga: Mengapa Perempuan Jadi Pilar Utama Kemajuan Peradaban?
Logikanya, sebagaimana kita ketahui bahwa bersentuhan laki-laki antara perempuan yang tidak memiliki hubungan darah (mahram) tidaklah diperbolehkan dalam perspektif fikih (hukum Islam), meskipun diporbolehkan, hanya berkutat dalam keadaan darurat. Contoh pasien yang hendak melahirkan, secara hukum asal tidaklah diporbolehkan disentuh oleh laki-laki lain yang bukan suami atau mahramnya. Sementara itu, secara realitas perempuan yang berperan dalam bidang tersebut, yaitu medis masih sangatlah minim. Hal ini menyisakan urgensi untuk merekontstruksi peran perempuan yang selama ini termarginalkan.
Berangkat dari sini mestinya disadari bahwa pendidikan, pengetahuan dan karir tidak semestinya dimonopoli oleh laki-laki saja, mengingat peran sentralnya perempuan terhadap masa depan anak serta kesejahteraan hidup dan peradaban emas di masa yang akan datang. Tanpa adanya kesadaran bersama, peradaban emas hanya akan menjadi angan-angan belaka. Karena, perenggutan hak perempuan dan ketidakadilan gender masih sering berporos ke ranah teologis, yang mengimplikasikan gerak perempuan dalam ruang publik terbatas.
Baca Juga: Benarkah Peran Muslimah Karir Dianggap Merendahkan Peran Laki-Laki?
Di sisi lain, kebutuhan perempuan bagi masa depan anak, sosial, kesehatan dan juga politik bahkan hukum masih terus bergerak maju untuk dipenuhi. Dengan adanya akses pendidikan yang luas bagi perempuan, kebutuhan-kebutuhan demikian akan segera terpenuhi, baik cepat atau lambat. Sebagai contoh, perempuan dengan beberapa pengalamannya, ketika berperan di ruang politik atau hukum maka akan melahirkan regulasi yang adil dan berbasis gender.
Sekali lagi, untuk mewujudkan itu semua masih diperlukan kerjasama yang kolektif. Sebagaimana Sayyidina Ali berkata: “Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan dan kebathilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan.” Wallahu a’lam bi showab.
Sumber Baca:
Muhammad Guntur Romli, Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam (2010).
KH Husein Muhammad, Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah (2020).
Wahbah al-Zuhaili, Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’asaroh (2007).
Prof. Dr. Yunasril Ali, MA. Studi Tasawwuf Mengantar Menyelami Kedalaman Spiritualitas Islam (2023).Forum Kajian Ilimah FIKRAH Ma’had Aly Lirboyo, Fikih Perempuan Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam, (2023).