Mukjizat Al-Qur’an: Bagaimana Kuasa Al-Qur’an Terhadap Nabi Muhammad?

Mukjizat Al-Qur’an: Bagaimana Kuasa Al-Qur’an Terhadap Nabi Muhammad?

09 Juni 2022
506 dilihat
2 menits, 24 detik

Tsaqafah.id – Sejarah Islam mencatat bahwa Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul ketika peristiwa pewahyuan atau menerima mukjizat pertama kali terjadi di Gua Hira’. Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan menyuruh membaca, dan diwahyukanlah lima ayat pertama pada Surat al-Alaq.

Sejarah mencatat bahwa turunnya mukjizat ini merupakan peristiwa yang sangat berat bagi Nabi Muhammad dikarenakan beliau tidak yakin terhadap peristiwa yang beliau alami. Yang selama ini beliau ketahui adalah seorang penyair yang menerima untaian kata-kata dalam sebuah peristiwa berat tersebut.

Apakah Rasulullah mengetahui bahwa beliau adalah seorang rasul sejak peristiwa pewahyuan pertama di Gua Hira’? Penjelasan malaikat Jibril sudah menjadi jawaban bahwa beliau sebenarnya telah mengetahui  kerasulannya sejak peristiwa tersebut.

Sebelum menjadi nabi, Nabi Muhammad baru membangun reputasinya sebagai orang yang akan berpengaruh. Akan tetapi, siapa yang akan mengira bahwa pengaruh yang diberikan jauh lebih besar dari yang diperkirakan.

Pengaruh tersebut berhubungan dengan kuasa yang dimilikinya. Dalam hal ini, keberadaan Al-Qur’an telah memposisikan Nabi Muhammad sebagai pusat perhatian. Secara perlahan, kondisi ini dibahasakan sebagai bentuk sebuah kuasa. Al-Qur’an adalah simbol kuasa bagi Nabi Muhammad.

Baca Juga Sekilas tentang Zakat Fitrah

Apabila Nabi Muhammad membicarakan dirinya tanpa adanya Al-Qur’an pastinya beliau akan dihiraukan. Nabi Muhammad hanya akan dianggap sama seperti para pendeta dan pelaku monoteisme pada zamannya. Akan tetapi, beliau membicarakan dengan adanya Al-Qur’an, maka ini adalah sesuatu yang berbeda.

Nabi Muhammad menjadi pusat perhatian bagi para penduduk Makkah. Dalam artian bahwa Nabi Muhammad memiliki kuasa dengan adanya Al-Qur’an. Dengan Al-Qur’an, Nabi Muhammad mengatur wacana dan pengetahuan bangsa Arab tentang ketuhanan, kerasulan, dan kekitabsucian.

Pada awalnya mungkin Nabi Muhammad mendapat banyak hinaan, namun secara perlahan dalam kurun waktu kurang lebih  23 tahun, kuasa Nabi Muhammad diakui bukan hanya oleh penduduk  Quraisy, Makkah, melainkan juga Madinah, dan seluruh jazirah Arab.

Bagaimana orang-orang kafir terus menerus mencemooh dan menganggu Nabi Muhammad. Mereka menganggap Al-Qur’an hanyalah sebuah karangan beliau dan dibantu dengan beberapa sahabatnya dan bagaimana mereka tidak meyakini kenabian beliau. 

Baca Juga Perempuan Berkalung Sorban (2009): Menilik Kembali Perempuan di Ranah Pesantren

Al-Qur’an telah menjelaskan bagaimana ancaman Allah SWT. kepada para penghina Rasulullah. Siapa saja yang membenci dan menghina beliau akan hilang pengaruhnya dan tidak ada kebahagiaan baginya di dunia dan di akhirat. Sungguh Allah telah menepati janji dengan menjatuhkan martabat mereka.

Sebagai simbol kuasa, Al-Quran melakukan pembelaan pada Nabi Muhammad jika otoritasnya diganggu, baik gangguan secara langsung terhadap Al-Quran maupun terhadap pribadi Nabi Muhammad. Dalam hal ini, Asma’ al-Qur-an berfungsi untuk memperkuat pembelaan itu.

Asma’ al-Qur’an digunakan sebagai tameng terhadap tuduhan-tuduhan yang menganggu. Bukan hanya sebagai tameng terhadap tuduhan-tuduhan yang muncul dari bangsa Quraisy, identifikasi Al-Qur’an juga difungsikan untuk menjaga motivasi dan mentalitas Nabi Muhammad dalam setiap tantangan.

Bahasa adalah mekanisme yang digunakan untuk menciptakan dan mempertahankan kuasa. Ada dua cara dalam mekanisme ini. Pertama, secara implisit. Artinya Al-Qur’an secara langsung menggunakan bahasa untuk tujuan tersebut. Kedua, Al-Qur’an menjelaskan dengan tegas bahwa ia adalah kitab berbahasa Arab.

Strategi penyebaran kuasa melalui bahasa menemukan hasilnya. Dengan bahasa, kuasa tidak terpusat pada Nabi Muhammad. Melalui bahasa, kuasa bisa masuk langsung menusuk munuju jiwa masyarakat Arab.

Dengan demikian, kuasa Al-Qur’an adalah mukjizat bagi Rasulullah sebagai bukti kebenarannya dalam menyikapi kaum kafir. Rasulullah hanya perlu menyampaikan wahyu, dan membiarkan struktur bahasanya memberikan efek psikologis bagi pendengarnya.

Referensi: Lukman, Fadhli. 2018. Menyingkap Jati Diri Al-Qur’an. Yogyakarta: Bening Pustaka

Profil Penulis
Novia Purnamasari
Novia Purnamasari
Penulis Tsaqafah.id
Seorang mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan seorang santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q Yogyakarta. Berminat dalam menulis tentang fenomena-fenomena yang terjadi era sekarang dalam perspektif Islam.

1 Artikel

SELENGKAPNYA