Tsaqafah.id – Sejak kecil saya sudah diajari Ibu saya untuk bersuci. Mulai buang air kecil agar tidak kecipratan najis, buang air besar, berwudu, cuci-cuci hingga mandi. Bersuci, atau bahasa fikihnya thaharah, menjadi pondasi penting dalam hal ibadah.
Sayangnya, esensi bersuci ini lambat laun mulai pudar dengan getolnya seorang muballigh mementingkan salat. Nggak salah. Namun, salat tanpa bersuci pun tidak sah. Begitu pun salat sebagai tiang Agama, tanpa bersuci tiangnya pun bisa bobrok, kropos, dan ambruk.
Masih jarang saya lihat ada seorang muballigh menjabarkan ihwal bersuci ini sedikit serius. Sisi lain, merupakan berita basi seorang Muslim mukallaf, baik dulu maupun sekarang masih jarang melakukan salat. Bahkan mungkin, tak pernah sama sekali. Mungkin salah satu alasannya karena tidak tahu rahasia di balik bersuci.
Baca Juga: Cinta, Cemburu, dan Kesadaran yang Terlambat dari Novel Al-Majdulin
Allah itu Maha Suci (al-Quddus)
Tuhan yang setiap hari kita sembah itu suci dari segala hal yang kotor. Oleh karenanya, kita sebagai hamba-Nya perlu mendekat dalam keadaan suci.
Jika secara batiniah kita terlalu kotor, misal sering melakukan dosa, bisa kita awali dengan sering bebersih diri dan lingkungan sekitar. Secara pribadi membuat kita lebih sehat, dan orang lain yang memandang juga senang melihatnya. Plusnya, Agama Islam pun sangat menganjurkan umatnya untuk terus menjaga kebersihan dan kesucian.
Sebelum masuk ke ritual purifikasi wudu, seseorang juga perlu tahu baiknya prosesi buang hajat ketika masuk ke kamar mandi. Masuk kamar mandi melangkahkan kaki kiri dan baca doa agar terhindar dari setan.
اللهم اني اعوذبك من الخبث واالخباءث
Buang hajat tidak boleh menghadap kiblat atau membelakanginya. Menyelesaikan buang hajat pun harus bersih dan aman dari najis (baik qubul maupun dubur) disertai berdehem agar keluar semua. Setelah buang hajat baca doa agar kemaluan kita terjaga dari hal-hal yang buruk.
اللهم طهر قلبي من النفاق و حصن فرجي من الفواحش
Satu hal lagi, tidak diperbolehkan melantunkan kalimat thoyyibah.
Terakhir, keluar kamar mandi melangkahkan kaki kanan dan baca doa agar penyakit yang ada di dalam diri kita, baik jasmani maupun rohani dihilangkan oleh Allah.
الحمد لله الذي اذهب عني الاذي وعافاني
Serangkaian prosesi bersuci di kamar mandi ini penting, agar setiap langkah kita mendapatkan rahmat dan rido-Nya. Baru setelah itu kita melakukan ritual purifikasi wudu.
Baca Juga: Nyala-Nyala di Tempat Ibadah
Signifikansi Air Wudu
Ritual penyucian seperti berwudu, berdasar pada keyakinan pembersihan dan penyucian diri. Adanya ritual penyucian sudah ada jauh sebelum ditemukannya teori kuman penyebab penyakit pada tahun 1546 oleh seorang saintis Italia bernama Girolamo Fracastoro.
Dalam Islam, adanya salat 5 waktu menandaskan pentingnya menjaga kebersihan dan juga kesucian diri selama 5 kali melalui wudu. Air yang digunakan dalam berwudu harus bersih dan mensucikan. Sebisa mungkin tidak memakai air musta’mal (air sisa pakai orang lain).
Harapannya, air wudu yang terkena anggota tubuh bisa selamat dari bakteri. Mengingat anggota tubuh yang terkena air wudu itu seringkali berinteraksi dengan dunia luar, cara membasuhnya diusahakan memang harus sebersih-bersihnya. Dan jelas, itu berdampak pada kesehatan tubuh manusia. Disertai doa di akhir wudu dengan harapan menjadi “tawwabin” (orang-orang yang bertaubat), “mutathohhirin” (orang yang suci) dan “’ibadika al-solihin” (hamba Allah yang salih).
Baca Juga: Ramadan yang Fatherless
Setelah itu, umat Islam dituntut untuk mengingat Sang Pencipta melalui salat. Namun, sebelum ke tempat salat, kita perlu sedikit refleksi diri bahwa dari air-lah semua yang ada di dunia ini hidup, baik manusia (dari air sperma) maupun alam.
Tanpa air, tentu saja akan kering kerontang, dan mungkin juga tidak akan ada bejibun manusia yang ada di bumi. Terdapat interaksi yang intim antara manusia dengan alam melalui air. Menggunakan air dalam berwudu pun bukan asal-asalan. Harus kita hormati melalui kalimat thoyyibah. Tidak boleh berlebihan dan harus sewajarnya.
Menuju ke tempat salat, setelah proses ritual purifikasi, kita dituntut tetap menjaga kebersihan dan kesucian tempat salat serta busana yang kita pakai. Ini tiada lain dalam rangka memuliakan Sang Pencipta air dan Sang Pencipta Manusia.
Ibadah salat juga sebagai bentuk rasa syukur kita sebagai hamba yang lemah bisa menghadap Tuhan yang Maha Besar dari segalanya. Ketika kesucian semuanya terjaga, terdapat interaksi intim antara makhluk dan pencipta-Nya. Tanpa adanya ritual purifikasi, Tuhan tidak berkenan mendengar doa-nya dalam ibadah salat.
Baca Juga: Semangkuk Bakso Sebelum Ramadan
Bersuci dan Hubungannya dengan Puasa
Proses bersuci, mulai dari buang hajat sampai berwudu, mulai dari bersihnya tubuh, pakaian, hingga tempat ibadah, perlu terus diusahakan oleh umat Muslim. Selain bersih itu menyehatkan secara personal, dari bersih itu pula kita disukai orang lain dan Allah.
Ketika kebersihan secara lahiriah konsisten kita jaga, aktivitas berpuasa yang dari sisi kesehatan menghilangkan racun (detoks) dalam tubuh, itu juga membantu kita mengobati penyakit hati.
Terdapat ritual menahan (al-imsak) yang dapat mengantarkan hati kita menjadi bersih dan suci. Dalam catatan, ada niat dan tekad yang kuat dalam menahan segala nafsu buruk.
Sikap rakus, misalnya. Jika di hari-hari selain berpuasa kita kerapkali menelan apapun di depan mata kita, kehadiran puasa Ramadan membantu kita menahan sikap rakus tersebut.
Ihwal ini perlu disadari dan perlu direnungkan; bahwa rakus itu harus kita akui buruk. Tak hanya rakus makanan, tapi juga bisa rakus jabatan dan rakus pujian.
Apabila kita bisa mengatasi hal ini, dan terus ditingkatkan di kemudian hari, bukan tak mungkin dosa kita bisa diampuni. Sebagaimana hadis yang ditiwayatkan Imam Bukhori;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “.
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan, disertai iman dan muhasabah diri, (insyaAllah) Allah akan mengampuni dosa-dosa kita di masa lalu.”
Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang dosanya diampuni oleh Allah, untung-untung menjadi pribadi yang bersih dan suci secara lahir dan batin. Sehingga pada akhirnya, kita mendapat rido dan rahmat-Nya. Amin, allhumma amin.
Baca Juga: Shalat Berjamaah: Cara Bokap Nyokap Peluk Anak-anaknya
Bacaan lebih lanjut:
Ihya’ Ulum al-Din dan Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali