Perubahan Iklim: Mengapa Negara Muslim Cenderung Diam?

Perubahan Iklim: Mengapa Negara Muslim Cenderung Diam?

09 Oktober 2024
78 dilihat
4 menits, 20 detik

Jens Koehrsen membagi tingkat kepercayaan umat Islam terhadap terjadinya perubahan iklim dan lingkungan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, pemimpin dan sarjana muslim menganggap isu ini sebagai akibat dari perilaku manusia. Kedua, para muslim lokal menganggap isu lingkungan sebagai bagian dari agama. Tuhan dianggap memberikan hukuman karena perbuatan kurang bermoral manusia. Terakhir masyarakat politik Islam memilih sikap skeptis.

Tsaqafah.id – Perubahan iklim disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca. Hal ini mempengaruhi semua wilayah di dunia, meskipun setiap daerah memilih kerentanan yang berbeda terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, dan gelombang panas. Untuk menghindari pemanasan lebih dari 1,5°C, emisi karbon harus menurun tajam sebelum 2030 dan mencapai net zero pada 2050. Meskipun terdapat perbedaan emisi antar negara, transisi ke ekonomi rendah karbon sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat. 

Perjanjian Paris 2015, di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), bertujuan membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan upaya lebih lanjut untuk menahannya pada 1,5°C. Namun, meski upaya global dapat mengurangi perubahan iklim, masalah ini tidak dapat sepenuhnya diselesaikan.

Konsep Lingkungan dalam Islam: Tauhid dan Peran Manusia sebagai Khalifah

Islam memiliki dua sumber hukum utama, yakni Al-Qur’an dan Hadis. Dalam kedua sumber ini dapat membimbing manusia untuk melakukan praktik hidup ramah lingkungan. Terdapat beberapa konsep dalam Islam yang saling berkaitan, yakni konsep tauhid, khalifah, mizan, dan akhirat

Tauhid, sebagai inti Islam, menegaskan keesaan Allah dan keterhubungan segala ciptaan, termasuk alam. Konsep khalifah menunjukkan tugas manusia selain beribadah (ibadatullah) juga mengelola bumi (imaratul ardhi) dengan sebaik-baiknya.

Pengelolaan bumi harus didasarkan pada prinsip keseimbangan (mizan), tidak berlebih-lebihan dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Setiap perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat, oleh sebab itu, manusia harus menggunakan dan memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak, agar generasi penerus tetap bisa menikmatinya.

Baca Juga : Labubu Viral? Fenomena FoMO yang Tersembunyi

Meskipun memiliki beragam panduan untuk menjalani hidup ramah lingkungan, tetapi dalam praktiknya, mengapa justru negara muslim, yang juga tergolong sebagai negara berkembang, menjadi negara dengan kerentanan yang lebih besar terhadap dampak perubahan iklim daripada negara lain?

Kerentanan Negara Muslim terhadap Dampak Perubahan Iklim

Menurut penelitian dari Atmospheric Research (EDGAR), emisi CO2 global dari pembakaran bahan bakar fosil naik sebesar 1,1% per tahun antara 2010 dan 2019. Namun, pada periode yang sama, negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengalami peningkatan emisi CO2 yang lebih cepat, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 2,6%. Angka ini juga lebih tinggi daripada negara-negara berkembang non-OKI, yang pertumbuhannya mencapai 2,0% per tahun. 

Pada tahun 2021, lima negara—Iran, Indonesia, Arab Saudi, Turki, dan Kazakhstan—menyumbang setengah dari total emisi CO2 negara-negara OKI. Meskipun negara-negara Islam telah bergabung dalam berbagai perjanjian perubahan iklim, banyak dari mereka tidak mengikuti tren penurunan emisi gas rumah kaca, dan emisi mereka justru terus meningkat. Data juga menunjukkan bahwa di antara 10 negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar, terdapat dua negara Islam, yakni Iran (2,14%) dan Arab Saudi (1,80%).

Baca Juga : Ushul Fiqih (1): Mengenal Dalil Fiqh Ijmali, Metode Operasional, dan Operatornya

Empat Sebab Negara Muslim Rawan Perubahan Iklim

Hojjat Salimi Turkamani dalam artikelnya yang berjudul “The Role of Islam in Realizing the Goals of Climate Change Law: From Theory to Practice?” menyebut empat hal yang menyebabkan mengapa dalam praktiknya justru negara muslim, yang juga merupakan negara berkembang, menjadi rawan terhadap bencana yang ditimbulkan dari perubahan iklim.

Pertama, sebagian besar negara Islam merupakan negara berkembang. Negara-negara ini lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan daripada menangani persoalan lingkungan. Negara-negara ini juga sangat bergantung terhadap sumber daya alam, tetapi kesulitan mendanai infrastruktur lingkungan dan menangani dampak negatif terhadap lingkungan. Selain itu, negara dengan tingkat keamanan kurang stabil, tentu lebih mementingkan memenangkan perang dan konflik daripada menangani degradasi lingkungan.

Kedua, setiap negara Islam menerapkan ajaran dan praktik Islam berbeda-beda. Penerapan hukum Syariah bervariasi; beberapa negara menerapkannya secara menyeluruh, sementara banyak lainnya menggunakan sistem campuran dengan penerapan terbatas.

Ketiga, sebagian besar negara Islam telah lama terjajah dan didominasi oleh kekuatan Barat karena kondisi politik dan ekonomi yang lemah. Selama masa kolonisasi, sumber daya alam mereka dieksploitasi tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Bahkan setelah merdeka, banyak negara ini yang masih tersandera oleh kepentingan ekonomi dan politik, sehingga tidak menerapkan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.

Keempat, negara-negara Islam, meskipun terlibat dalam perjanjian dan konferensi mengenai perubahan iklim, sejak awal kebijakan perubahan iklim hanya menguntungkan negara-negara maju. Negara-negara maju telah mencapai tingkat perkembangan yang signifikan dengan memanfaatkan bahan bakar fosil tanpa adanya larangan tegas terhadap emisi gas rumah kaca dalam beberapa dekade terakhir. Sekarang, mereka sedang beralih ke ekonomi ramah lingkungan sambil memperkuat infrastruktur ekonomi, sementara negara-negara berkembang masih berada pada tahap awal perkembangan dan tidak dapat memulai proses industrialisasi tanpa menggunakan bahan bakar fosil.

Baca Juga : Reimajinasi Sekolah Agama

Sikap Ideal Negara Muslim terhadap Perubahan Iklim

Kondisi ini juga dipengaruhi oleh perspektif para penduduk negara muslim terhadap fenomena perubahan iklim. Rendahnya literasi mengenai iklim juga bisa menjadi salah satu faktor. Umat Islam yang peduli terhadap perubahan iklim merupakan minoritas kecil dalam komunitas Muslim global, dan perubahan iklim masih dianggap fenomena yang kurang penting di kalangan Muslim. Selain itu di antara muslim tidak ada pemahaman tunggal mengenai perubahan iklim. 

Jens Koehrsen membagi tingkat kepercayaan umat Islam terhadap terjadinya perubahan iklim dan lingkungan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, pemimpin dan sarjana muslim menganggap isu ini sebagai akibat dari perilaku manusia. Kedua, para muslim lokal menganggap isu lingkungan sebagai bagian dari agama. Tuhan dianggap memberikan hukuman karena perbuatan kurang bermoral manusia. Terakhir masyarakat politik Islam memilih sikap skeptis.

Isu ini hanya dianggap sebagai upaya Barat dalam melemahkan Islam. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan kondisi negara yang berbeda-beda.

Baca Juga : Sumber Daya Tambang dalam Al-Qur’an: Pemanfaatan Bijak untuk Kesejahteraan Umat

Sebagai penutup, tantangan perubahan iklim di negara-negara Muslim memerlukan perhatian lebih dan aksi nyata. Meskipun isu seperti kemiskinan dan pembangunan ekonomi mendesak, keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk kesejahteraan jangka panjang.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dan tanggung jawab, umat Muslim bisa berperan aktif dalam menghadapi krisis iklim. Keterlibatan dalam inisiatif lingkungan dan peningkatan kesadaran dapat membantu negara-negara Muslim tidak hanya melindungi alam mereka, tetapi juga berkontribusi pada upaya global untuk menciptakan dunia yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Profil Penulis
Hafidhoh
Hafidhoh
Penulis Tsaqafah.id

16 Artikel

SELENGKAPNYA