Puasa dan Pembangunan Moral

Puasa dan Pembangunan Moral

15 April 2023
123 dilihat
3 menits, 53 detik

Tsaqafah.id – Makna puasa yang hakiki, yang mampu memadukan antara pencegahan hal-hal yang bersifat ragawi dan penguatan kesadaran batini melalui latihan moral dan spiritual.

Puasa merupakan salah satu bentuk ibadah yang berfungsi sebagai wasilah (sarana) untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, serta sebagai jalan untuk mendidik dan melatih jiwa manusia dalam hal menghadapi liku-liku kehidupan.

Oleh karena itu, puasa yang dikehendaki oleh Allah SWT bukan sekedar perilaku ragawi dengan menghindari. makan, minum, dan hubungan kelamin mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, malainkan terpadu dengan aktivitas rohani dalam bentuk motivasi iman dan mengharap ridla Allah SWT.

Hal ini tercermin dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 183, yang diawali dengan seruan kepada orang yang beriman dan diakhiri dengan pencapaian tingkat ketakwaan. “Hai orang-orang yang heriman diwajihkan atas kamu herpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Iman dan takwa adalah sumber kebaikan yang keduanya menjadi landasan dan sasaran ibadah puasa. Maka orang yang mengarahkan tujuan puasanya kepada selain Allah, bukanlah puasa. Orang yang berpuasa sambil berpikir untuk berbuat dosa, membuat fitnah dan tipu daya, memusuhi sesama mukmin, puasanya tak sempurna.

Baca Juga

Inilah makna puasa yang hakiki, yang mampu memadukan antara pencegahan hal-hal yang bersifat ragawi dan penguatan kesadaran batini melalui latihan moral dan spiritual. Jika seseorang mampu melaksanakan ibadah puasa dengan cara seperti ini, maka insya Allah ia akan mampu meraih al-tajalli ila Rabbi al-bariyyah (menangkap sinyal Allah SWT) karena telah melakukan usaha al-takhalli ‘an al-sifati al-madzmumah (pensucian diri dari noda dan dosa dengan menanggalkan sifat-sifat dan prilaku yang buruk) serta  al-tahalli bi al-sifati al-mahmudah (menghiasi diri dengan sifat-sifat  yang terpuji).

Puasa seperti inilah yang dikehendaki oleh ayat di atas serta dan Hadis Qudsi: “Setiap amal anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa karena sesungguhnya ia adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa itu benteng. Jika kalian berpuasa, hendaklah tidak berkata keji dan berteriak. Jika dicaci maki atau diajak berkelahi oleh seseorang, hendaknya ia berkata, ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” (HR Al-Syaikhan).

Pembangunan Moral

Lebih lanjut keterkaitan ibadah puasa dengan pembangunan moral semakin jelas apabila direnungkan lebih dalam. Puasa sejatinya dimaksudkan untuk pembinaan sasaran-sasaran mental spiritual, meski ia juga mengandung pembinaan secara fisik-material.

Sasaran mental puasa diantaranya adalah menanamkan kegemaran mawas diri, bersabar, berteguh hati, keras kemauan, tabah menjalani ujian dalam pasang surutnya kehidupan. Latihan men­tal seperti ini menjadi penting artinya, apalagi mendekati tahun politik seperti hari-hari ini, puasa menjadi wahana untuk melatih menahan diri dari melakukan perbuat yang kurang bermoral dalam menyikapi percaturan politik.

Baca Juga Mengenal Konsep Kepribadian Menurut Imam Al-Ghazali

Selain itu, dalam medan kehidupan terjadi pertarungan bukan saja keinginan nafsu syahwat diri sendiri, tetapi juga pertarungan nafsu syahwat seseorang dengan orang lain. Dalam medan kehidupan terjadi pula dorongan-dorongan yang membawa kepada kemarahan, kebencian dan balas dendam.

Menghadapi situasi ini, maka yang terpenting bagi kita adalah memiliki sifat tabah dan sabar agar mampu menanggung derita itu. Betapa penting seseorang mempersenjatai diri dengan sifat gemar mawas diri, koreksi diri, meminta ampunan dan pertolongan Allah SWT serta tawakkal kepada-Nya.

Dilihat dari sudut ini, demi kepentingan diri manusia sendiri, maka sungguh amat bijaksana Allah mewajibkan manusia mukmin untuk berpuasa selama bulan Ramadhan, satu bulan dalam setahun, hari demi hari secara bersambung, berturut-turut, agar lantaran kesinambungan puasa itu, penguasaan sifat sabar dan mawas diri tetap tumbuh terus menerus.

Pendidikan puasa semacam ini berulang pada setiap tahun agar sifat-sifat mulia tersebut tertanam kuat dalam  pribadi muslim, hingga ia  selalu siap dan memiliki kemampuan untuk menghadapi pergeseran keadaan, perubahan suasana, yang manis maupun yang pahit. Dengan berpuasa seorang mukmin dapat menjadi muttaqin dengan jiwa yang bersih, nafsu syahwat terkendali dan budi pekerti nan luhur sebagai pancaran takwanya.

Baca Juga Tips Agar Tidak Termasuk Golongan Orang Kedonyan

Berpuasa, demikian Musthafa Al-Maraghi, diwajibkan kepada mukmin sebelum dan sesudah Islam, bukan untuk menghilangkan kemurkaan Allah atau untuk menyenangkan hati-Nya, melainkan untuk kepentingan dan kemaslahatan hidup mukmin itu sendiri.

Begitu banyak kegiatan puasa yang merupakan pra kondisi dalam proses pembinaan ketakwaan. Sehubungan dengan itu Al-Maraghi menyimpulkan lima dari enam ajaran Al-Qur’an ketika ia menjelaskan surat Al-Baqarah ayat 183 tersebut yang lebih mempertajam dan merinci hikmah-hikmah puasa yang berkaitan dengan akhlak. Segi-segi yang menonjol dari ajaran puasa itu ialah :

Pertama, mendidik dan membiasakan rasa takut dan mawas diri, baik di tempat terbuka maupun tertutup, meski tak seorangpun menyaksikannya selain Allah.

Kedua, mengurangi dan menekan ketajaman syahwat, dan mengarahkan ke arah ketentuan syara’, seperti yang telah disebutkan di atas.

Baca Juga

Ketiga, mendidik dan membiasakan rasa iba hati dan kasih sayang kepada fakir miskin, serta menumbuhkan sikap dermawan dan murah hati kepada mereka.

Keempat, mendidik perlakuan yang sama dalam hal beribadah kepada Allah antara segala lapisan masyarakat baik yang kaya maupun yang miskin, baik yang berpangkat maupun rakyat biasa.

Kelima, membiasakan umat yang beriman untuk mentaati satu aturan hidup yang bersifat universal dalam waktu yang telah ditentukan.

Berpuasa yang dilakukan seorang mukmin secara lahiriah badaniah, diniatkan dan ditujukan kepada Allah lalu dihayati secara batiniah, dilakukan berulang kali, hari demi hari selama sebulan, akan memperkaya rasa moral, akhlak dan budi luhurnya. Puasa yang demikian itu adalah puasa yang dilakukan menurut perintah Allah dan menuju sasaran yang dikehendaki Allah, yaitu terbentuknya manusia mukmin muttaqin yang tergambar jelas dari prilaku sehari-harinya yang memancarkan al-akhlaq al-karimah.

Profil Penulis
Fardha Muhammad
Fardha Muhammad
Penulis Tsaqafah.id
Mahasiswa Pascasarjana Resolusi Konflik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan khodim Ma’had Baitul Hikmah Depok, Jawa Barat

2 Artikel

SELENGKAPNYA