Tsaqafah.id – Tahukah kamu, jika anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan peran ayah dan ibu yang setara cenderung lebih percaya diri? Sementara anak yang tumbuh dalam pengasuhan yang tidak setara, lebih tidak percaya diri dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya. Hal ini tidak lepas dari kondisi fatherless yang sedang ramai dibicarakan banyak orang di sosial media.
Belakangan ini, istilah fatherless memang sering banget muncul di media sosial, bikin banyak orang penasaran dan ikut membahasnya. Tapi, apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan fatherless? Dan, gimana caranya kita bisa bilang no more untuk kondisi ini?
Apa iya fatherless hanya dimaknai sebagai kurangnya sosok ayah dalam pengasuhan anak? Bersama Erfika Qotrunnada, tsaqatalk #10 (22/12/2024) ngebahas isu ini sampai tuntas bareng Mbak Nabila, salah satu aktivis parenting dan penulis literasi anak.
Obrolan mengenai fatherless dimulai dari mengetahui dua kondisi, yakni fatherless by choice dan fatherless karena no choice. Apa perbedaan keduanya? Mbak Nabila menjelaskan bahwa fatherless no choice adalah kondisi tidak ada pilihan atau secara fisik anak kehilangan ayahnya baik disebabkan karena meninggal atau sakit keras sehingga tidak bisa beraktivitas secara normal. Sementara fatherless by choice adalah kondisi seorang ayah tidak terlibat dalam pengasuhan karena beberapa alasan seperti, situasi sulit atau kurangnya kesadaran sehingga tidak terlibat banyak dalam pengasuhan anak.
Baca juga #TSAQATALK7 Building Your Best Self, Kak Bianglala : Journaling Bisa Jadi Alat Evaluasi OVT-mu
Hal ini didukung oleh budaya patriarki pada generasi terdahulu yang menganggap ketidakterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan adalah hal yang wajar. “Riset menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan membuat anak lebih percaya diri, mampu membangun hubungan baik, dan belajar menghadapi masalah secara tegas. Sebaliknya, ketidakhadiran ayah dapat membuat anak kurang percaya diri, takut mengutarakan pendapat, dan mengalami dampak negatif pada kehidupan sosialnya,” ungkap Mbak Nabila.
Lalu bagaimana mengupayakan pengasuhan yang setara dalam sebuah keluarga?
Lebih lanjut Mbak Nabila membahas tentang konsep mubadalah yang dicetuskan oleh Kiai Faqih Abdul Qodir. Mubadalah tidak hanya dipahami sebagai ‘saling’ dalam sebuah keluarga. Istilah-istilah seperti macak, masak, dan manak yang sering dialamatkan sebagai tugas perempuan harus dimaknai ulang. “Kiai faqih mengajak untuk mendekonstruksi ini. Coba jika ada teks kita netralkan gendernya, pertanyakan nilainya,” jelas Mbak Nabila.
Misalnya istilah masak, apa iya pekerjaan ini hanya diperuntukkan untuk perempuan? Masak merupakan pekerjaan untuk bertahan hidup. Baik laki-laki maupun perempuan membutuhkan keterampilan ini sebagai basic skill untuk bertahan hidup. Begitu juga dengan istilah manak tidak dianggap sebagai pekerjaan reproduksi perempuan saja. Tetapi secara lebih luas, istilah ini dimaknai sebagai bentuk pengasuhan. Dalam sebuah pengasuhan, anak harus tumbuh dengan baik, pertumbuhan anak yang baik membutuhkan kehadiran kedua orang tuanya.
“Agar bisa hidup dengan baik, maka harus diasuh oleh bapak dan ibu. Mindset seperti ini penting kita bisa memandang bahwa pengasuhan sejak dasar atau awal bukan tugas ibu saja,” tegas Mbak Nabila yang juga seorang penulis ini.
Baca juga Mencintai Anak dengan Tulus: Nasehat Gus Baha
Menariknya, dalam Al-Qur’an, justru banyak menghighlight peran ayah dalam pengasuhan. Hal ini muncul dalam bentuk dialog antara nabi-nabi dengan anak-anaknya. Seperti dialog nabi Ibrahim dengan Ismail atau nabi Nuh dengan putranya, Kan’an. Meskipun tidak semua berakhir ideal, tetapi Al-Qur’an justru banyak memunculkan dialog ayah dan anak. Sementara ibu digambarkan melalui tugas biologisnya seperti melahirkan dan menyusui.
“Peran pengasuhan dalam al-Qur’an yang seharusnya dijadikan mindset, ada bapak dan ibu dalam pengasuhan. Jadi tidak ada dominasi satu pihak,” ungkap Mbak Nabila.
Kemudian, bagaimana kasusnya jika orang tua sibuk bekerja?
Stres dan kelelahan, baik pada ayah maupun ibu, dapat berdampak besar pada anak, termasuk ibu rumah tangga yang mengalami stres. Sebelum membahas pengasuhan, penting memahami tiga tahap: menjadi diri sendiri, pasangan, lalu orang tua. Banyak masalah pengasuhan berakar dari konflik suami istri, seperti kurangnya komunikasi atau silent treatment, yang dapat memicu fatherless.
Masalah ini sering kali terkait luka masa lalu, seperti pengalaman fatherless yang tidak terselesaikan, sehingga membentuk pola yang berulang. Kesadaran akan luka tersebut dan upaya menyembuhkannya sangat penting. Pasangan yang saling mendukung dalam peran sebagai suami, istri, dan orang tua menjadi kunci pengasuhan yang sehat.
“Cari pasangan yang sama-sama mau mendukung untuk diri, sebagai suami atau isteri dan sebagai ayah atau ibu,” pesan Mbak Nabila untuk tsaqafriend.
Selain beban pekerjaan, hal yang perlu digaris bawahi adalah beban ganda yang sering disematkan kepada perempuan. Beban ganda yang sering dirasakan perempuan terjadi karena anggapan bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab utama mereka dan adanya budaya patriarki yang menempatkan perempuan di rumah tetapi juga menuntut mereka menghadapi masalah finansial.
Hal ini diperburuk oleh pandangan bahwa perempuan hanya berperan dalam aspek reproduksi, sementara laki-laki dianggap semata sebagai pencari nafkah. Dikotomi peran ini menciptakan ketidakadilan, padahal jika suami dan istri saling memandang sebagai manusia utuh dan berbagi tanggung jawab, beban ganda dapat dikurangi melalui dialog yang sehat dan hubungan yang setara.
Dalam menghadapi persoalan fatherless, tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Budaya patriarki dan kurangnya dukungan dari lingkungan kerja atau kebijakan publik, seperti tidak adanya cuti bagi ayah saat istri melahirkan, menjadi tantangan besar dalam mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Meski perubahan tidak bisa terjadi seketika, obrolan ringan seperti ini dapat memantik perubahan mindset yang berdampak besar, terutama bagi generasi penerus.
“Saya percaya bahwa setiap keluarga memiliki rumusnya masing-masing, dan dialog antara ayah dan ibu adalah kunci untuk menemukan cara yang cocok dalam menjalankan peran di keluarga,” ujar Mbak Nabila.
Diskusi seperti ini, terutama jika dilakukan sejak kelas pra-nikah, bisa menjadi bekal penting untuk menanamkan pola pengasuhan setara agar pengasuhan yang setara merupakan hal yang wajar dalam setiap keluarga.
Baca juga TSAQATALK #8: Berapapun Gajimu, Mulailah Investasi!