Tsaqafah.id – Kemarin, kita telah membincangkan dalil-dalil fiqh yang muttafaq alaih. Kali ini, sebagai seri tulisan terakhir, kita akan coba membahas dalil-dalil fiqh yang mukhtalaf fih. Sudah tentu, topik ini agak lebih rumit daripada topik sebelumnya, mengingat variasi dan konsepnya mungkin agak kurang familiar di benak kita.
Coba kita throwback sedikit konsep dalil muttafaq alaih kemarin. Keempat dalil muttafaq alaih adalah dalil yang disepakati kehujjahannya secara umum, karena ada madzhab di luar aswaja yang tidak mengakuinya. Dalil muttafaq alaih saja tidak disepakati oleh seluruh madzhab, lebih-lebih dalil mukhtalaf fih yang masih diperdebatkan di dalam internal madzhab aswaja.
Jumlah dalil mukhtalaf fih sendiri terdiri dari tujuh macam; yaitu (1) istishab, (2) syar’u man qablana, (3) qaul shahabi, (4) istihsan, (5) maslahah mursalah, (6) sadd dzari’ah, dan (7) ‘urf. Masing-masing dalil ini akan kita upas satu per satu setelah ini. Karena variasinya cukup banyak, maka seri tulisan ini akan dibuat lebih panjang; sebagai penutup seri yang semoga husnul khotimah juga, asekk.
Istishab
Kali ini, saya coba geser referensi pada kitab ushul fiqh kontemporer, karena penjelasannya lebih sistematis dan mudah dipahami. Karya ini memuat pembahasan tentang perbandingan ushul fiqh oleh Abdul Karim al-Namlah. Secara terminologis, istishab adalah:
عبارة عن الحكم بثبوت أمر فى الزمان الثانى بناء على ثبوته فى الزمان الأول لفقدان ما يصلح للتغيير.
“Ungkapan atas tetapnya perkara di masa kedua berdasarkan ketetapannya di masa pertama karena tiadanya perkara yang layak mengubahnya.” (Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Muqaran, hlm. 959).
Baca Juga: Ushul Fiqh (5): Dalil-Dalil Muttafaq Alaih
Sederhananya, istishab adalah terjadinya dua kondisi yang berbeda dalam dua waktu. Maka, kondisi pertama-lah yang dipakai, selama belum ada bukti yang bisa memastikan perubahan pada kondisi kedua.
Contoh istishab adalah status hidup orang yang hilang. Kondisi di waktu pertama sebelum hilang, ia masih hidup. Kemudian di waktu kedua, setelah hilang ia belum diketahui status hidupnya. Maka, melalui istishab, ia dihukumi masih hidup selama belum ada bukti kematiannya. Status hidupnya ini membawa beberapa dampak, semisal hartanya masih belum bisa diwaris oleh ahli warisnya, istrinya belum iddah ditinggal wafat, dll.
Mayoritas ulama menerima istishab sebagai hujjah dalam pensyariatan hukum. Kubu yang tidak setuju atas kehujjahan istishab adalah mayoritas Hanafiyah dan sebagian kecil Syafi’iyah. Perbedaan kedua kubu ini menimbulkan beberapa perbedaan dalam memutuskan suatu hukum.
Syar’u Man Qablana
Diartikan sebagai syariat sebelum kita (umat Nabi Muhammad), syar’u man qablana didefinisikan sebagai:
ما نقل إلينا من أحكام تلك الشرائع التى كانوا مكلفين بها على أنها شرع لله تعالى.
“Hukum yang sampai ke kita berupa syariat umat terdahulu yang mereka dibebani (di-taklif) atasnya yang merupakan syariat dari Allah.” (Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Muqaran, hlm. 972).
Batasan dari syar’u man qablana adalah syariat umat terdahulu yang belum bisa dipastikan bahwa hukum tersebut berlaku pula pada kita. Namun, belum bisa diputuskan juga bahwa hukum tersebut sudah di-naskh (tidak berlaku) bagi kita.
Baca Juga: Menyoal Miras hingga Penusukan Santri di Jogja
Contoh syar’u man qablana adalah kewajiban ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh binatang yang dilepas pada malam hari. Al-Quran menceritakan hukum yang merupakan syariat Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman. Hukum tersebut tidak diketahui, apakah masih berlaku bagi kita, ataukah sudah di-naskh.
Mayoritas madzhab mengakui kehujjahan syar’u man qablana sebagai salah satu dalil syariat. Namun, kalangan Syafi’iyah, dan sebagian Hanabilah tidak menerimanya. Perbedaan atas penerimaan syar’u man qablana sebagai dalil menimbulkan perbedaan dalam sebagian keputusan hukum syariat oleh masing-masing kubu penerima dan penolaknya.
Qaul Shahabi
Secara definitif, qaul shahabi adalah:
ما نقل عن أحد أصحاب رسول الله ﷺ من فتوى أو قضاء أو رأي أو مذهب فى حادثة لم يرد حكمها فى نص ولم يحصل عليها إجماع.
“Hukum yang diriwayatkan dari salah seorang sahabat Rasulullah saw berupa fatwa, putusan, pendapat, atau madzhab atas suatu peristiwa yang tidak ditemukan hukumnya dalam nash dan bukan merupakan ijma’ (sahabat).” (Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Muqaran, hlm. 981).
Batasan dari qaul shahabi adalah ketika pendapatnya tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat, dan tidak pula diketahui adanya kesepakatan di antara mereka. Jika diketahui adanya perbedaan, maka bukanlah hujjah. Sebaliknya, jika diketahui merupakan ijma’ sahabat, maka disepakati kehujjahannya.
Baca Juga: Saat Kesibukan sebagai Pemimpin Umat Islam Tak Mengurangi Romantisme Nabi Muhammad SAW kepada Istri
Contoh dalil qaul shahabi adalah pendapat Ibnu Umar yang tidak mewajibkan zakat atas perhiasan yang dipakai putri-putrinya. Pendapat ini belum bisa dipastikan adanya pertentangan di antara sahabat lain, dan belum bisa dipastikan pula adanya ijma’ sahabat atas pendapat ini.
Mayoritas ulama madzhab mengakui kehujjahan qaul shahabi. Hanya sebagian kecil ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang tidak menerimanya. Perbedaan atas penerimaan kehujjahan ini juga menimbulkan dampak perbedaan atas suatu putusan hukum di antara mereka.
Istihsan
Istilah yang dipilih dalam mendefinisikan istihsan adalah:
العدول بحكم المسألة عن نظائرها لدليل خاص أقوى من الأول.
“Berpindah dari hukum yang sepadan (yang umum) ke dalil khusus yang lebih kuat daripada dalil (umum) yang pertama.” (Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Muqaran, hlm. 991-992).
Sederhananya, istihsan adalah pindah atau berpaling dari hukum yang lebih umum, -berupa qiyas jali, kaidah umum, hukum umum, maupun dalil umum-, pada hukum yang lebih khusus karena ada pertimbangan lain yang dianggap lebih kuat.
Contohnya adalah tidak dihukumi sebagai pencurian bagi orang yang mencuri harta dari orang yang berhutang padanya sebelum jatuh tempo. Bagi qiyas jali (yang lebih umum), semestinya orang tersebut dihukumi melakukan pencurian karena hutang belum jatuh tempo.
Namun, melalui istihsan, qiyas khafi (yang lebih khusus) dipilih karena adanya kepemilikan hak dan ketidakjelasan status pengambilan hutang tersebut. Pada akhirnya, orang tersebut tidak dihukumi melakukan pencurian.
Baca Juga: Belajar Menghadapi Kenyataan Pahit dari Nabi Ayub As
Menurut pemahaman umum, hanya kalangan Hanafiyah yang menggunakan dalil ini sebagai hujjah, sementara ketiga madzhab lain -Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah- tidak mengakuinya.
Padahal, perbedaan tersebut hanya ketidakcocokan ketiga madzhab lain atas definisi yang dipakai Hanafiyah. Jika memakai definisi yang telah kita gunakan di atas, maka hakikatnya, semua madzhab aswaja menerima kehujjahan istihsan ini.
Maslahah Mursalah
Definisi maslahah mursalah dalam ushul fiqh adalah:
كل منفعة داخلة فى مقاصد الشارع الخمسة السابقة الذكر دون أن يكون لها شاهد بالاعتبار أو الإلغاء.
“Segala manfaat yang masuk dalam lima maqashid syariah tanpa adanya dukungan pengakuan maupun penolakannya (dalam nash).” (Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Muqaran, hlm. 1003).
Pemahaman sederhana atas maslahah mursalah adalah manfaat atau maslahah yang tidak diakomodir dalam syariat sebagaimana maslahah mu’tabarah, dan juga bukan maslahah yang ditolak oleh syariat sebagaimana maslahah mulgah.
Contoh maslahah mursalah adalah hukuman qishash bagi semua pelaku pembunuhan keroyokan meski korban hanyalah satu orang. Maslahah ditemukan dalam putusan hukum ini, meski tidak ditemukan dalil pendukung maupun penolaknya dari nash.
Terbagi menjadi tiga kubu, ulama berbeda pendapat atas penggunaan maslahah mursalah ini. Kubu pertama cenderung mudah menggunakannya sebagaimana Malikiyah. Kubu kedua menerimanya dengan prasyarat tertentu, inilah madzhab mayoritas ulama. Kemudian, kubu ketiga cenderung menolaknya, sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah masuk dalam kelompok ini.
Jika diamati, sebenarnya semua madzhab menggunakan maslahah mursalah ini. Perbedaan hanya terletak pada kelonggaran dan keketatan dalam penggunaannya. Kubu pertama termasuk longgar menggunakannya. Sebaliknya, kubu ketiga dianggap ketat dalam penggunaannya. Kemudian kubu kedua berada di tengah-tengah antara keduanya.
Sadd Dzari’ah
Langsung saja, secara istilah, sadd dzari’ah adalah:
كل وسيلة مباحة قصد التوصل بها إلى المفسدة أو لم يقصد التوصل إلى المفسدة لكنها مفضية إليها غالبا ومفسدتها أرجح من مصلحتها.
“Semua perantara yang tidak dilarang (mubah), yang disengaja untuk sampai pada mafsadah, atau tidak disengaja namun secara umum dapat mengakibatkan mafsadah, sementara mafsadahnya lebih unggul daripada maslahatnya.” (Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Muqaran, hlm. 1016).
Konsepnya gini, suatu tindakan pada mulanya tidak dilarang, bisa jadi mubah, sunnah, atau wajib. Namun, ketika disengaja untuk melakukan mafsadah, atau tanpa disengaja besertaan dengan akibat mafsadahnya (secara umum), dan mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya -dalam kasus sunnah dan wajib-, maka tindakan tersebut menjadi dilarang.
Baca Juga: Ushul Fiqh (4): Hukum Wadl’i, Lebih Rumit daripada Hukum Taklifi
Contoh aplikasi sadd dzari’ah adalah pendapat Imam Malik tentang ketidakharusan ahli waris untuk melunasi tanggungan zakat mayit yang tidak berwasiat untuk melunasinya. Sebab, jika menjadi tanggungan ahli waris, maka akan mengakibatkan orang-orang tidak mau membayar zakat karena akan menjadi tanggungan ahli waris dan mengurangi hak waris mereka.
Kebalikan dari sadd dzari’ah adalah fath dzari’ah, yakni ketika suatu perbuatan yang pada mulanya dilarang akan menjadi dibolehkan bahkan dianjurkan jika mengakibatkan maslahat yang lebih besar.
Mengenai status kehujjahannya, mayoritas ulama mengakuinya sebagai salah satu dalil fiqh, hanya sebagian Syafi’iyah yang tidak menerimanya. Konsekuensi atas ketidaksetujuan penggunaan sadd dzari’ah adalah kewajiban menanggung zakat mayit dalam kasus di atas, sebagai qiyas atas kewajiban melunasi hutang pada sesama manusia.
‘Urf
Bisa dimaknai sebagai adat kebiasaan masyarakat. Definisi ‘urf menurut ushul fiqh adalah:
ما يتعارفه أكثر الناس ويجري بينهم من وسائل التعبير وأسالب الخطاب والكلام وما يتواضعون عليه من الأعمال ويعتادونه من شؤون المعاملات مما لم يوجد فى نفيه ولا إثباته دليل شرعي.
“Perbuatan yang telah dikenal mayoritas manusia dan berlaku dalam kehidupan mereka melalui perantara ucapan pembicaraan keseharian, dan aturan yang mereka buat dan dibiasakan dalam hubungan sosial selama tidak ditemukan dalil syariat yang melarang dan menetapkannya.” (Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Muqaran, hlm. 1020).
Bahasa sederhananya, ‘urf adalah suatu tindakan yang menjadi kesepakatan bersama dalam kehidupan sosial masyarakat, yang tindakan tersebut tidak ada penetapan maupun larangan dalam dalil-dalil nash.
Baca Juga: KDRT dan An-Nisa Ayat 34: Tafsir yang Berkeadilan
Contoh ‘urf adalah kewajiban memberikan upah standar bagi pekerja yang tidak menyebutkan nominal gaji dalam kontrak awal kerjanya. Kewajiban tersebut sudah berlaku dalam adat kebiasaan masyarakat, meski tidak ada dalil yang mengaturnya, alih-alih melarangnya.
Mayoritas ulama madzhab menerima ‘urf sebagai salah satu dalil dengan beberapa persyaratan, hanya sebagian kecil ulama yang tidak mengakuinya. Konsekuensi dari ketidaksepakatan ‘urf sebagai hujjah dalam contoh kasus di atas adalah ketidakwajiban pemberian gaji pada pekerja tersebut, karena pekerja dianggap bekerja secara suka rela saja, meski sebaiknya tetap dibayar namun tidaklah wajib untuk mengupahnya.
Sebagai penutup, semua seri tulisan ini merupakan pengantar untuk mempelajari ushul fiqh. Untuk perkenalan awal, topik yang dibahas hanya seputar muqaddimah dan dalil-dalil fiqh saja. Pembahasan tentang metode operasional dalil dan karakteristik operatornya tidak -atau belum- dibahas dalam seri tulisan ini.
Bagi yang minat untuk lanjut, semangat belajar. Bagi yang belum, gapapa. Kehidupan memang seperti itu, nda!