Ushul Fiqh (5): Dalil-Dalil Muttafaq Alaih

Ushul Fiqh (5): Dalil-Dalil Muttafaq Alaih

02 November 2024
76 dilihat
5 menits, 36 detik

Tsaqafah.id – Dalam dua seri tulisan sebelumnya, kita telah membicarakan topik yang dibahas dalam muqaddimah ilmu ushul fiqh, yakni hukum taklifi dan wadl’i. Seri kali ini, kita akan ngobrol santai tentang dalil-dalil fiqh.

Sebagai salah satu dari tiga cakupan ushul fiqh, pembahasan tentang dalil fiqh adalah diskursus yang paling seru dan paling panjang. Dibanding dua tema lain,–yakni metode operasional dan karakteristik operatornya–, pembahasan tentang dalil memenuhi 2/3 dari keseluruhan kitab-kitab ushul fiqh.

Dalil Muttafaq Alaih dan Mukhtalaf Fih

Secara garis besar, dalil-dalil fiqh dibagi menjadi dua, yakni dalil muttafaq alaih dan dalil mukhtalaf fih. Sederhananya, dalil muttafaq alaih adalah dalil yang disepakati kehujjahannya, sementara dalil mukhtalaf fih merupakan dalil yang masih diperselisihkan status penerimaannya sebagai hujjah dan sumber hukum syariat.

Kesepakatan atas kehujjahan dalil muttafaq alaih pun sebenarnya hanya terbatas pada empat madzhab fiqh ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). Sebab, selain empat madzhab tersebut, masih terdapat empat madzhab lain -yaitu ja’fariyah, zaidiyah, dhahiriyah, dan ibadliyah- yang pendapatnya berbeda dengan madzhab aswaja. Jadi, selama keempat madzhab aswaja menyepakatinya, maka pendapat berbeda dari madzhab-madzhab lain tidaklah diperhitungkan.

Dalil-dalil muttafaq alaih terdiri dari empat dalil, yakni al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. Keempat dalil tersebut semestinya sudah familiar di telinga kita, berbeda dengan dalil-dalil mukhtalaf fih yang akan kita obrolkan di seri tulisan selanjutnya. Nah, dalam tulisan seri ini, kita akan fokus membahas dalil muttafaq alaih secara ringkas, sekedar pengantar bagi yang tertarik mendalaminya lebih lanjut, oke.

Baca Juga Ushul Fiqh (4): Hukum Wadl’i, Lebih Rumit daripada Hukum Taklifi

Al-Quran

Dengan menggunakan perspektif ushul fiqh yang melihat al-Quran sebagai dalil fiqh, al-Quran didefinisikan sebagai:

القرآن وهو هنا اللفظ المنزل على محمد ﷺ المعجز بسورة منه المتعبد بتلاوته.

“Al-Quran di sini (ushul fiqh) adalah lafad yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw, sebagai mukjizat dengan (minimal) satu surah darinya, yang menjadi sarana ibadah dengan membacanya.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 82).

Makna dari ‘lafad yang diturunkan’ di sini mengecualikan lafad yang bukan dari Allah, seperti hadis nabi. Redaksi ‘diturunkan pada Nabi Muhammad saw’ mengecualikan wahyu yang turun pada nabi-nabi lain, seperti Taurat dan Injil. Kata ‘sebagai mukjizat’ tidak memasukkan hadis qudsi, meski bersumber dari Allah melalui ungkapan Nabi Muhammad.

Kata ‘dengan satu surah darinya’ menunjukkan bahwa kemukjizatan lafal al-Quran yang tidak mampu ditiru manusia bukanlah sekedar satuan kata atau ayatnya, karena jika hanya per-ayatnya adakalanya ada ayat yang masih bisa ditiru oleh manusia.

Kemudian redaksi ‘yang menjadi sarana ibadah dengan membacanya’ mengecualikan ayat yang sudah dinaskh sehingga tidak dianggap ibadah dengan sekedar membacanya dan tidak bisa dibaca sebagai al-Quran di dalam sholat.

Di dalam pembahasan al-Quran, ditemukan diskursus tentang amr dan nahi, ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad, dll. Jika kita pernah mempelajari ulum al-Quran, maka tema-tema tersebut juga akan kita jumpai di dalamnya. Jadi, bisa dikatakan, seorang yang ushuli (ahli ushul fiqh) bisa dipastikan menguasai ulum al-Quran pula. Keren kan!

Baca Juga Ushul Fiqh (3): Mengenal Enam Hukum Taklifi

Sunnah

Sunnah atau hadis Nabi Muhammad saw didefinisikan dalam ushul fiqh sebagai:

السنة وهي أقوال النبى وأفعاله.

“Sunnah adalah perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 284).

Jadi, apa saja, baik perkataan maupun perbuatan yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw. dapat dikategorikan sebagai sunnah dan dalil fiqh.

Dalam definisi lain, -sebagaimana dalam ulum al-hadis-, ketetapan Nabi dimasukkan dalam definisi sunnah. Namun, di sini, ‘ketetapan Nabi’ dimasukkan dalam kategori ‘perbuatan Nabi’, karena ‘ketetapan Nabi’ merupakan suatu ‘perbuatan Nabi’ berupa tindakan untuk tidak mengingkari sesuatu yang berada di sekelilingnya semasa hidup beliau.

Berbeda dengan al-Quran, sunnah perlu dibuktikan kehujjahannya, karena ada beberapa kelompok yang mengingkari kehujjahannya yang dikenal sebagai munkir al-sunnah. Kelompok ini hanya mengakui al-Quran sebagai sumber satu-satunya dalam syariat Islam. Sayangnya, sebagai orang ‘waras’, kita akan mudah menolak pendapat mereka dengan alasan yang sederhana. 

Argumentasi dasar (dan sederhana) atas kehujjahhan sunnah dan adalah Allah memerintahkan kita untuk mentaati Nabi-Nya yang berstatus ma’shum, serta kebutuhan kita pada sunnah karena al-Quran masih umum pembahasannya.

Coba kita amati, di dalam al-Quran, ada perintah sholat tanpa penjelasan atas tata caranya. Nah, kita bisa melaksanakan sholat beserta tata caranya tentu saja melalui ajaran Nabi dalam sunnahnya. Kalau hanya menggunakan al-Quran, bagaimana cara kita sholat untuk menyembah-Nya? Padahal kita menyembah-Nya pun harus sesuai SOP-nya, nggak bisa divariasi sendiri. Apa mau dibatin aja? -semisal-.

Ruang lingkup pembahasan sunnah meliputi diskursus tentang hadis-hadis mutawatir dan ahad, sahih dan dlaif, jarh wa ta’dil, dll. Tema-tema tersebut juga bisa kita temukan dalam kitab-kitab ulum al-hadis. Otomatis, seorang ushuli menguasai ulum al-hadis pula, sebagaimana penguasaan atas ulum al-Quran sebelumnya. Gimana, ngeri kan!

Baca Juga Ushul Fiqh (2): Kedudukannya di antara Fiqh, Qawaid Fiqh, dan Maqasid Syariah

Ijma’

Selanjutnya, ijma’ dalam definisi ushul fiqh adalah:

الإجماع هو اتفاق مجتهدي الأمة بعد وفاة محمد فى عصر على أي أمر.

“Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. di satu masa atas perkara apapun.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 338).

Ketika para mujtahid dalam suatu masa bersepakat atas suatu perkara -semisal- hukum syariat yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan sunnah, maka kesepakatannya dianggap sebagai sumber syariat yang qath’i (pasti kebenarannya).

Kesepakatan ini hanya dibatasi pada para mujtahid saja. Jika seorang yang bukan mujtahid tidak setuju atas kesepakatan para mujtahid, maka pendapatnya tidak membatalkan ijma’. Begitu pula kesepakatan ini harus setelah wafatnya Nabi. Karena selama masih ada Nabi, beliaulah sumber syariat sebagai utusan-Nya.

Konsepnya gini, ketika masing-masing mujtahid melakukan ijtihad atas suatu hukum yang tidak ditemukan secara tersurat dalam al-Quran dan sunnah. Ternyata, hasil ijtihad semua mujtahid dalam suatu masa memutuskan hukum yang sama. Maka keputusan yang pada mulanya merupakan hasil ijtihad pribadi tersebut berubah menjadi ijma’ sebab keseragaman semua hasil ijtihad mereka.

Contoh hasil ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid atas keharaman meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja atau sudah kaya. Keputusan ini pun harus diterima oleh semua umat muslim, baik pada masa itu, maupun masa setelahnya.

Sebagaimana sunnah, tidak semua golongan menerima kehujjahan ijma’. Maka, di antara argumentasi sederhana atas kehujjahan ijma’ sebagai dalil fiqh adalah ketidakmungkinan -secara adat- seluruh mujtahid untuk bersepakat atas suatu kesalahan dan kebohongan bersama dalam syariat Islam.

Baca Juga Ushul Fiqih (1): Mengenal Dalil Fiqh Ijmali, Metode Operasional, dan Operatornya

Qiyas

Dalil fiqh muttafaq alaih terakhir adalah qiyas. Secara istilah, qiyas adalah:

القياس هو حمل معلوم على معلوم لمساواته فى علة حكمه عند الحامل.

“Qiyas adalah mengarahkan (menyamakan) perkara yang telah diketahui pada perkara lain yang telah diketahui karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut pengarahnya.” (Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, hlm. 351).

Dalam definisi lain, qiyas adalah menyamakan hukum ashl pada far’ karena kesamaan illat hukumnya. Hukum yang terdapat pada ashl haruslah telah ditemukan dalam al-Quran atau hadis, maka qiyas sudah tentu mengacu pada hukum dalam al-Quran dan hadis.

Jadi, rukun qiyas terdiri dari empat perkara; (1) ashl, (2) far’, (3)hukum ashl, dan (4) illat. Kemudian, tujuan akhir dari qiyas adalah menemukan hukum far’. Ilustrasinya seperti ini:

Ashl adalah khamr. Far’ adalah kokain. Hukum ashl (khamr) adalah haram. Illat-nyaadalah merusak akal. Tujuan dari qiyas ini adalah menemukan hukum far’, yakni hukum dari kokain yang tidak ditemukan dalam al-Quran maupun hadis. Setelah ditemukan illat kesamaan antara keduanya (ashl dan far’), maka hukum far’ tinggal disamakan dengan hukum ashl, yaitu haram. Maka, hukum far’ (kokain) adalah haram.

Adakalanya, hasil qiyas berubah menjadi ijma’. Seperti keharaman lemak babi yang diqiyaskan dengan keharaman daging babi yang tertuang dalam al-Quran. Sebab hasil qiyas semua mujtahid menyatakan hukum yang sama, maka hukum keharaman lemak babi -yang semula merupakan qiyas- berubah menjadi ijma’.

Kehujjahan qiyas pun tidak disepakati semua golongan. Argumentasi sederhana atas kehujjahannya adalah keterbatasan hukum syariat yang disebutkan dalam al-Quran maupun sunnah, padahal kasus-kasus baru selalu ditemukan di setiap masa. Maka, perlu dilakukan upaya penentuan hukum atas kasus yang baru sesuai dengan patokan dalam al-Quran dan hadis.

Pembahasan dalam qiyas mencakup tema-tema tentang prasyarat masing-masing rukun qiyas, masalik al-illah (metode penemuan illat), qawadih (perusak illat yang telah ditemukan), dll.

Menurut guru saya di Krapyak, semua tema dalam ushul fiqh itu gampang-gampang susah kecuali qiyas, karena diskursus qiyas sudah disepakati, ijma’, dan muttafaq alaih atas kesulitannya, lebih-lebih tema-tema dalam qiyas yang telah saya sebutkan sebelumnya. Yah, saya husnudhon aja kalau kalian nggak paham juga kan. Sama lur, saya juga.

Profil Penulis
Agil Muhammad Mudhofar
Agil Muhammad Mudhofar
Penulis Tsaqafah.id
Pengajar di PP Qomaruddin Gresik dan Alumni Pesantren Krapyak

6 Artikel

SELENGKAPNYA