Tsaqafah.id – Bahwa Gus Mus adalah seorang kiai, budayawan, mubaligh dan sastrawan, itu tidak keliru. Namun ada satu nuansa dari beliau yang akan keliru kalau tidak dibuhul sebagai pengetahuan umum sebelum mengenal Gus Mus lebih jauh.
Nuansa itu adalah jelajah Gus Mus terhadap tokoh perempuan. Kisah perempuan, oleh Gus Mus dalam cerpen-cerpennya, selalu tersaji sebagai hidangan mendidik, menyejukkan dan bernas sekaligus.
Pantas bila Gus Mus jarang bertengkar dengan istri beliau, Ibu Nyai Fatma. Rasa kesal terhadap tingkah dan prinsip seketika terhapus oleh besarnya rasa kagum beliau terhadap perempuan.
Sudah banyak kisah romantis hubungan pernikahan beliau, di antaranya kisah pertengkaran yang selalu gagal antara Gus Mus dengan Ibu Nyai Fatma.
Dikisahkan, jika Gus Mus mendapati rasa jengkel terhadap perilaku istrinya, Gus Mus selalu melampiaskan dengan menulis catatan di kertas putih. Menariknya kertas putih kosong itu selalu disediakan oleh Nyai Fatma di meja kerja Gus Mus.
Ketika rasa jengkel datang, Gus Mus tidak serta-merta memarahi Nyai Fatma. Yang selalu dilakukan Gus Mus adalah menulis kejengkelan dalam secarik kertas putih, lantas kertas yang sudah berisi kejengkelan itu dibuatnya lusuh dan dibuang di lantai.
Nyai Fatma yang paham akan kebiasaan kekasihnya itu tidak lantas menyapu dan membuang kertas lusuh tersebut. Akan tetapi, oleh Nyai Fatma, kertas itu dipungutnya, dibacakan kata demi kata setumpuk kesebalan dalam secarik kertas itu sembari menimbang apa sesuatu yang sebenarnya diharapkan oleh Gus Mus melalui secarik kertas lusuh tersebut.
Gambaran kondisi itu pernah ditulis oleh Gus Mus dalam sepenggal puisi:
“Aku masih terus berbicara padamu hingga kini. Apakah kau masih mendengarku dengan sedikit menyela dan sesekali tersenyum seperti dulu?”
Baca Juga: Menolak Lupa Founding Mothers Indonesia
Tragedi itu biasanya ditutup di meja makan dengan masakan lezat kesukaan Gus Mus yang secara khusus dibuatkan oleh Nyai Fatma. Pasangan kekasih itu lalu sibuk menghabiskan makanan. Bersamaan dengan itu, kesebalan Gus Mus menguap begitu saja, seolah tidak pernah benar-benar ada pertengkaran di antara pasangan kekasih tersebut. Ajib!
Selain itu, Gus Mus sering menaruh perhatian secara penuh terhadap ulama-ulama perempuan yang sudah wafat. Darmabakti beliau terhadap ulama perempuan salah satunya dengan menghadiri peringatan haul atau kewafatannya. Haul yang rutin beliau hadiri misalnya Haul Nyai Hj Salimah Munawwir.
Gus Mus selalu berpesan wara’al adhimi adhimah (di balik lelaki yang besar, terdapat perempuan yang agung). Sembari menyodorkan kisah dan peran perempuan penoreh sejarah, seperti Sayyidah Khadijah; orang kaya yang berjuang total membantu Kanjeng Nabi Saw, Sayyidatina Aisyah; kealimannya diakui, murid-muridnya banyak yang menjadi ulama, Rabiah al-Adawiyah; perempuan sufi dari Basrah, banyak memiliki murid yang menjadi ulama-ulama besar, Fatimah binti Abdul Malik (istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz); keluarga bangsawan yang bersedia menanggalkan kekayaannya ketika mendampingi Khalifah Umar bin Abdul Aziz di tampuk pemerintahan, Ummi Kulsum; penyanyi terkenal Jazirah Arabia yang kaya-raya dan dermawan, dan masih banyak contoh lainnya.
Baca Juga: Kartini, Gadis 13 Tahun yang Membuat Sang Mahaguru Menangis
Perempuan dalam Cerpen
Di samping itu, saya akan menambahi wujud perhatian Gus Mus terhadap perempuan dengan sedikit mengulas cerpen beliau yang mengangkat tokoh perempuan.
Dari lima belas judul cerpen dalam kumcer A Mustofa Bisri yang berjudul ‘Konvensi’, setidaknya ada Perempuan yang Selalu Mengelus Dadaku, Nyai Sobir, Suami, Sang Primadona, dan Gadis Kecil Beralis Tebal dan Bermata Cemerlang.
Empat judul pertama menganggit perempuan sebagai tokoh tunggal yang bermonolog. Sementara judul terakhir, Gus Mus dengan dirinya sebagai orang kedua.
Keunggulan Gus Mus dalam memilih tokoh perempuan terlihat dalam sebuah prinsip; rasa empati dalam kegetiran-kegetiran hidup perempuan.
Nyai Sobir dan Sang Primadona, adalah potret perempuan di ujung tanduk, mereka kehilangan tempat untuk bermanja. Satu sebab ditinggal mati, sementara Sang Primadona terabaikan sebab kemelut finansial yang menggoncang kedalaman rumah.
Selebihnya, ada dua hal yang tak terpisah dari cerpen Gus Mus, yakni hidup dan mati. Kehidupan yang enggan menanggung resiko bukanlah hidup. Kematian yang tak direlakan, tetaplah sebuah kematian.
Di samping kumcer Konvensi, saya sepakat dengan @fasrori kalau cerpen terbaik dalam Kumcer Gus Mus yang berjudul “Lukisan Kaligrafi” itu bukanlah “Gus Jakfar”, melainkan “Mbok Iyem”.
Cerpen Mbok Iyem mengisahkan dua sejoli sepuh yang ketika mendapat panggilan ibadah haji ke Tanah Suci, mereka—istilahnya—hanya kangen-kangenan. Mbok Yem tidak pernah menjauh dari Mbah Joyo, suaminya. Begitu pun sebaliknya.
Kemesraan kedua sejoli sepuh itu tak pernah ditutup-tutupi. Meski setenda memuat berpuluh jamaah haji. Sebanding dengan kemesraan adalah keanehannya, di saat para jamaah mengucap talbiyah dan takbir, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menerus beristighfar. Astaghfirullah.. Astaghfirullah..
Baca Juga: Inilah yang Perlu Kamu Persiapkan Sebelum Menikah
Mbok Iyem yang tidak pernah sejengkalpun menjauh dari Mbah Joyo kecuali ketika Mbah Joyo sudah tertidur, kemudian mengisahkan seluk beluk perjalanan hidupnya.
Ternyata Mbok Iyem dulunya merupakan WTS—sekarang diperhalus menjadi Pekerja Seks Komersial—dan Mbah Joyo adalah pelanggannya. Hubungan itu tidak berhenti di akad jual-beli tapi itikad Mbah Joyo untuk menyelamatkan Mbok Iyem dengan menikahinya.
Pernikahan itu merupakan fase hidup yang sama sekali baru bagi kedua pasangan tersebut. Mereka memulai perjalanan hidup itu dengan berjualan Nasi Pecel, berkembang menjadi rumah makan. Sembari bertirakat dan nabung buat pergi ke Tanah Suci. Kedua pasangan itu percaya, dosa-dosa masa lampau itu akan terhapus apabila kita berangkat dan memohon ampun di Masjidil Haram.
Gus Mus dengan kearifannya menaruh banyak perhatian terhadap perempuan. Gus Mus membuka banyak lembaran buku sejarah perempuan yang lebih hebat daripada laki-laki. Suatu hal yang patut disyukuri adalah bagaimana peran dan kehadiran perempuan, oleh Gus Mus, dijunjung sebagai figur yang menyimpan tenaga lebih dalam ngemong dan nyengkuyung peradaban. Wallahu A’lam.
Tapi tunggu, bolehlah penulis pungkasi tulisan ini dengan mengutip puisi indah Gus Mus tentang perempuan yang sangat ia sayangi.
Tak Selalu: Tak selalu dia kupanggil dengan mesra, istriku. Kadang kupanggil dia dengan gairah, kekasihku. Tak selalu dia kupanggil dengan sayang, istriku. Kadang kupanggil dia dengan akrab, kawanku. Tak selalu dia kupanggil dengan kasih, istriku. Kadang kupanggil dia dengan manja, ibuku.
Tak selalu dia kupanggil dengan cinta, istriku. Kadang kupanggil dia dengan lembut, anakku. Tak selalu dia kupanggil dengan santun, istriku. Kadang kupanggil dia dengan nakal, penghiburku. Tak selalu dia kupanggil dengan lantang, istriku. Kadang bahkan kupanggil dia dengan diam, ruhku.
A Mustofa Bisri