Judul: Identitas Arab Itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia!, Penulis: Musa Kazhim Alhabsyi, Penerbit: Mizan, Bandung, Cetakan: Pertama, 2022, Tebal: 223 halaman,ISBN: 978-602-441-279-1
Tsaqafah.id – Buku ini menjadi sebuah otokritik terhadap identitas Arab dan fenomena habib di Indonesia yang sarat dimensi politik. Paling tidak sudah lebih dari satu dekade segelintir tokoh habib telah mengkapitalisasi identitasnya untuk mendulang simpati umat yang memujanya.
Penulisnya, Habib Musa Khazim Alhabsyi juga seorang keturunan Bani Alawi (habib), ia berupaya membongkar ilusi identitas Arab yang telah dikomodifikasi secara politis berdasarkan isu agama.
Fenomena habib memang menjadi sebuah komoditas politik yang sangat laris di pasar raya Indonesia. Pasalnya, di momen mendekati tahun politik 2024 seperti saat ini mereka gencar mendaku diri sebagai penuntun umat agar bisa memilih calon pemimpin yang sesuai dengan seleranya. Tentu selera yang dimaksud adalah sesuai dengan kepentingan kelompoknya.
Secara tidak langsung, komodifikasi (politik) identitas yang dilakukan oleh segelintir “elit sayid” ini berdampak kepada kalangan “sayid sipil” yang tidak terkait apa-apa. Boleh jadi, kalangan yang terakhir ini membenci sikap publik yang dilakukan oleh kalangan yang pertama. Karena mereka telah mencederai identitas leluhurnya.
Baca Juga Hati Suhita (2023), Representrasi Ketangguhan Perempuan Pesantren
Apalagi golongan keturunan nabi ini sejak berdiaspora ke Nusantara, mengalami pergumulan yang tak kunjung usai, baik antar sayid maupun sayid dengan non sayid. Pada kelompok yang disebut terakhir ini, mereka mengalami pertarungan politik yang panjang sehingga organisasi sayid seperti Jamiatul Khair (1905) terpecah, dan berdirilah al-Irsyad (1913) yang diusung kalangan sayid yang keluar dari Jamiatul Khair.
Sebagaimana menurut Deliar Noer (1973; 67), masyarakat Arab di Indonesia sejak migrasinya pada abad ke 18 terpecah menjadi golongan sayid (habib) dan bukan sayid. Kalangan sayid menikmati kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, mereka menuntut kedudukan yang lebih tinggi dalam kacamata agama, meskipun leluhur mereka bukan syarifah, bahkan bukan orang Arab.
Pada kalangan Muslim kelas menengah bahkan masyarakat Islam di akar rumput seringkali menganggap identitas Arab—khususnya Arab Saudi—sebagai representasi Islam murni (hlm.48). Tak heran banyak dari kalangan tersebut seolah-olah “menghamba” kepada para habaib, bahkan seakan-akan suara mereka adalah representasi dari titah Tuhan.
Sistem kasta sebagai politik segregasi sosial kolonial seakan masih tersemai dalam fenomena habib ini. Mengingat ketika itu, kalangan Arab atau keturunan Hadhrami diposisikan berbeda secara sosial dengan kalangan pribumi (inlander), tak heran sampai saat ini masih bisa kita jumpai bekas kampung Arab yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Baca Juga Meleburkan Sekat Identitas, Menyelami Jalan Panjang Menjadi Manusia
Identitas memang menjadi alat pertarungan di medan realitas, karena identitas yang menang tandinglah yang mampu menguasai realitas itu sendiri. Seperti Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu, ketika salah satu kelompok memainkan isu identitas, maka ia kemudian memenangkan percaturan politik. Mirisnya, pertarungan ini akibat dari komodifikasi identitas agama.
Uniknya, yang menonjol dari buku ini adalah cara penulisnya dalam membedah identitas Arab itu dengan berbagai perspektif, baik semiotika, hermeneutika, sosiologi dan sejarah dalam bingkai fenomenologis.
Meskipun karya ini hasil dari refleksi penulisnya dalam pergumulannya dengan identitas Arab yang menjadi bagian dari dirinya sejak kecil, tidak menjadikan karya ini subyektif an sich. Lebih dari itu, dengan pendekatan multidispliner, karya ini mampu membawa kita menulusuri jejak historis yang panjang mengenai identitas kearaban tersebut yang ditinjau secara objektif-ilmiah.
Perlu dipahami bahwa identitas Arab itu tidak berkelindan dengan identitas keislaman. Keduanya adalah dimensi yang berbeda. Jika mau jujur, secara DNA ras manusia pada dasarnya bercampur baur dengan ras manusia yang lain. Oleh karenanya kategori rasial dan kesukuan itu sepenuhnya konstruksi sosial, politik dan ekonomi, alih-alih agama. Pendapat mengenai Arab itu suku atau keturunan tertentu merupakan sebuah ilusi daripada asumsi ilmiah (hlm.61).
Baca Juga Jomblo Ideologis: Dua Puluh Ulama yang Memilih Melajang Demi Ilmu
Sebagaimana ditegaskan oleh Habib Musa, bahwa identitas Arab itu tidak lebih dari soal bahasa. Posisi bahasa dalam spektrum identitas Arab tentu sangatlah sentral. Oleh karenanya, jika identitas Arab itu dipersepsikan selaras dengan dimensi keislaman, tentu itu adalah sebuah ilusi. Mengingat Arab adalah dimensi bahasa, sedangkan Islam sendiri adalah dimensi teologis.
Pertanyaannya, bagaimana sikap kita terhadap fenomena habib dan identitas arab tersebut?. Penulis buku ini menjawab dengan berbagai argumentasi historis dan ilmiah bahwa fenomena ini tak lain adalah motif politik yang sangat banal dan dangkal. Ia menolak segala bentuk pengkultusan yang berlebihan dalam ranah sosial keagamaan, bukankah sikap egalitarianisme menjadi bagian dari spirit keberislaman?
Maka jika sebagai Muslim, kita tentu harus bersikap menghormati dan mencintai mereka sebagai keturunan nabi. Namun yang paling penting (dalam mencintai keturunan nabi) adalah dimensi pancaran ilmu dan keluruhan akhlak, untuk dijadikan barometer kita dalam mengikutinya. Bukankah risalah nabi Muhammad Saw adalah ilmu dan akhlak yang paripurna?