Islam dan Modernitas (V): ‘Balas Dendam’ Tuhan

Islam dan Modernitas (V): ‘Balas Dendam’ Tuhan

15 Maret 2022
222 dilihat
3 menits, 34 detik

Tsaqafah.id – Di era modern, tema tentang transformasi tradisi spiritual seringkali menjadi isu utama (main issues) dalam setiap diskursus Studi Islam kontemporer. Subjek spiritual dengan tradisinya dalam tantangan modernitas masih menguasai atmosfir dunia akademis dan juga para ahli.

Hal ini misalnya terlihat dari konferensi tiga hari (9-11/11/2015) yang diselenggarakan oleh Accademia Ambrosiana, Italia dengan tema besar “Tradizione, Memoria e Modernita” yang membicarakan dialektika kebertahanan dan prediksi arus balik agama di tengah gelombang hegemonik modern.[i]

Motivasi Religius dan Arus Balik

Pada dasarnya, kemajuan peradaban manusia, termasuk modernitas saat ini, dikembangkan atas dasar dorongan religius yang diilhami oleh kitab suci (holy scripture) masing-masing umat beragama. Di Barat pun, kebanggaan mereka atas capaian pengetahuan dan teknologi tidak bisa dilepaskan dari motivasi nilai-nilai Biblikal (bagi umat Kristian) untuk berusaha direinterpretasi dalam konteks kehidupan nyata.

Sebagai pendukung konstruk silogistik ini, tesis dari Pippa Norris dan Ronald Inglehart mengatakan “Cultur does matter indeed, it matters a lot. Historical religious traditions have left an enduring imprint on contemporary values.” Bahwa budaya merupakan unit otonom yang menentukan kualitas peradaban. Dan, di balik entitas budaya dan peradaban tersebut terdapat system of beliefs yang salah satunya diilhami oleh agama.[ii]

Baca Juga: Islam dan Modernitas (II): Resonansi Tiga Madzhab

Dalam pandangan Haidar Bagir (2019), bahwa meskipun peradaban Barat bersifat sekuler, asal-usul peradaban Barat bukanlah filsafat sekuler, melainkan filsafat agama Kristen. Hanya saja belakangan peradaban Barat menyimpang dari norma peradaban sebelumnya. Sejalan dengan itu, kebutuhan akan spiritualitas di Barat, menurut Bagir, sebenarnya telah dirasakan sejak tahun 1960-an.[iii]

Hasil ini dikuatkan oleh Alvin Toffler (1970) yang menyebut dalam bukunya, The Future Shock bahwa sejak tiga dekade lalu, tak kurang dari 4000 organisasi kultus tercatat di Amerika Serikat. Di dalam surveinya, Toffler menyimpulkan terdapat lebih banyak orang melakukan kebaktian daripada menonton sinema, melakukan olahraga, dan aktivitas lainnya.[iv]

Selain itu, realitas lainnya menunjukkan, pada tahun 1998 sebuah jajak pendapat dipublikasi di Inggris mengemukakan hasil bahwa mayoritas masyarakat di Barat masih terasa membutuhkan agama.[v]

Alasan utamanya adalah, menurut Toffler, masyarakat Barat dengan budaya hidup eskapisme hedonistiknya telah melahirkan penyakit sosial baru yang akut yaitu future shock. Keterkejutan masa depan inilah yang menjadi malaise paling menakutkan bagi peradaban manapun.

Baca Juga: Islam dan Modernitas (III): Barat, Dilema Spiritual dan Patologi Kultural

Karena itu, langkah kuratif yang perlu segera disadari, menurut analisisnya, adalah kembali kepada akar-akar lama, yaitu nilai-nilai spiritualitas agama sebagaimana juga telah ‘diramalkan’ oleh Samuel Huntington dalam The Clash of Cilvilization-nya. Namun, tak seperti Huntington yang cenderung bernada cemas, Toffler nampak lebih optimis menatap masa depan itu.

Karya lain Toffler yang berjudul The Third Wave ditujukan bagi orang-orang yang mengasumsikan bahwa kisah umat manusia jauh dari telah tamat, ia baru saja dimulai. Ini menjadi titik baru fenomena sosial agama di Barat setelah sekian ratus tahun dibelenggu oleh dominasi rasio di abad modern.

Serangkaian capaian peradaban masyarakat modern di bidang ilmu dan teknologi ternyata masih menyisahkan ruang kosong (hope) bagi –apa yang dalam bahasa David Goleman sebut dengan ‘God-spot’ dalam jiwa manusia sebagai makhluk yang secara instingtif mempunyai naluri berketuhanan.

Adagium Prancis mengatakan; “L’histoire se repete” (sejarah pasti berulang kembali).  Bahwa pada paruh kedua Abad ke-20 ini, umat manusia mulai mempertanyakan kembali tentang arah dan tujuan ilmu pengetahuan modern. Pamor renaissance dan aufklarung atau enlightment sebagai simbol abad pencerahan berujung pada naturalisme dan positivisme semakin meredup seiring munculnya perlombaan senjata, kerusakan lingkungan, kelaparan, berbagai penyakit, degradasi moral, dan pudarnya spiritualitas.

Baca Juga: Islam dan Modernitas (IV): Keretakan dan Episode Akhir Modernitas

Fenomena ini sebenarnya, oleh Amin Abdullah dianggap dapat mengembalikan serta mengokohkan posisi agama dalam menangkal efek-efek negatif dari ilmu pengetahuan modern. Itulah sebabnya, Soedjatmoko, mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo meramalkan bahwa abad 21 merupakan abad agama.[vi] Kebangkitan ini dibenarkan pula oleh Gilles Kepel yang menyebut abad 21 sebagai “abad pembalasan Tuhan” (1994).[vii]

Sudah banyak ilmuwan-ilmuwan yang mengajukan tesis bahwa milenium ketiga akan dikuasai oleh spiritualisme. Nama-nama semacam Alvin Toffler, Gilles Kepel maupun Samuel P. Huntington dan sederet ilmuwan lain yang telah disebut sebelumnya adalah hanya sebagian kecil dari pendukung tesis ini. Melihat, kesadaran umat manusia belakangan atas dampak teknologi yang dibuat; insiden holocaust oleh Nazi, peperangan dunia satu dan dua, pemboman, imperialisme dan segala patologi-patologi kultural lainnya telah menampar wajah rasionalitas modern Barat, nampak diiringi juga oleh kesadaran kebutuhan sisi spiritualitasnya. Fakta inilah yang disorot oleh Harvey Cox dalam istilah “turning east”; yaitu titik balik kompas dari pendulum rasio-sentris (West) menuju spiritualitas (East).[viii]


Daftar Rujukan

[i] Azyumardi Azra, Moderasi Islam di Indonesia (Jakarta, Pranadamedia, 2020), hlm. 57-58.

[ii] Masdar Hilmy, Islam Profetik, Substansi Nilai-Nilai Agama dalam Ruang Publik, cet. 5 (Yogyakarta: Kanisus, 2012), hlm. 126.

[iii] Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia, edisi II (Bandung: Mizan, 2019), hlm. 187.

[iv] Toffler, Alvin, Future Shock, (New York: Random House, 1970)

[v] Bagir, hlm. 188

[vi] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, cet. VI (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 47.

[vii] Gilles Kepel, The Revenge of God: The Resurgence of Islam, Christianity and Judaism in The Modern World, (Cambridge: Polity, 1994)

[viii] Ngainun Naim, “Kebangkitan Spiritualitas Masyarakat Modern,” Kalam 7, no. 2 (2017): 237, https://doi.org/10.24042/klm.v7i2.457.

Profil Penulis
M Ikhya Ulumuddin Al Hikam
M Ikhya Ulumuddin Al Hikam
Penulis Tsaqafah.id
Sekretaris Departemen Penelitian Pengurus Pusat Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir dan Hadis Indonesia (FKMTHI)

7 Artikel

SELENGKAPNYA