Jubah dan Nalar Kritis Perempuan: Atribut Mana yang Harus Ada di Kepala Kaum Muslim?

Jubah dan Nalar Kritis Perempuan: Atribut Mana yang Harus Ada di Kepala Kaum Muslim?

30 April 2025
56 dilihat
3 menits, 42 detik

Apakah benar agama itu melindungi kita dari dosa, tetapi sudah berapa banyak dosa yang dilakukan atas nama agama?

Tsaqafah.id – Lebih kurangnya seperti itu, yang seringkali Raden Ajeng Kartini persoalkan tentang agama. Sebab disadari atau tidak, sudah berapa banyak dosa yang dibungkus rapih dengan doktrin agama? Sudah berapakali kita mendengarkan informasi pelecehan seksual di beberapa instansi yang bernuansa keagamaan? Dan sudah berapakali pandangan yang dibawa oleh pemuka agama, justru malah menciderai esensi agama itu sendiri?

Seperti yang kita saksikan dalam alur cerita yang diangkat film Bida’ah (2025), di mana ajaran agama dijadikan alat untuk mencapai kepuasaan oleh satu pihak, yaitu Walid yang menjadi pemuka agama. Cerita selaras juga dapat kita lihat dalam film Tuhan Izinkan Aku Berdosa (2023), yang mengisahkan Kiran sosok mahasiswi muslimah yang cantik, namun sayangnya Kiran lari menjauhi agama, disebabkan fitnah Abu Darda dan para muhibbinnya, karena Kiran menolak ajakan dari Abu Darda untuk dijadikan isteri ke tiganya.

Tak hanya itu, hal demikian juga, terjadi begitu masif kini dan di sini. Melihat dari faktornya, ketika pandangan yang dibawa oleh pemuka agama sekaligus dibingkai halus dengan doktrin agama (walaupun itu keliru), maka kita atau mereka yang mengkrititsinya -untuk tidak mengatakan, mengelaknya- akan dipandang sebagai sosok yang durhaka (su’ul adab) bahkan relatif dikafirkan.

Baca Juga: Kerinduan seorang Hamba di Menjelang Malam Terakhir Ramadan

Sebab kebanyakan dari kita hanya menerima pandangan-pandangan demikian secara subjektif dan dogmatis saja, tanpa diiringi dengan nalar yang kritis yang berorientasi pada substansialis-rasionalis. Padahal teks-teks keagamaan haruslah berjalan beriringan dengan nalar kritis, sebagaimana yang dikutip KH Husein Muhammad (2024) dari Fakhrudin ar-Razi dalam kitabnya Al-Mahshul Min ‘Ilmil Ushul:

“pembenaraan naqli melalui pendustaan aqli tentu meniscayakan pendustaan naqli itu sendiri”

Oleh karenanya, pandangan-pandangan keagamaan harus selalu beriringan dengan nalar yang kritis, agar pandangan keagamaan tersebut tidak dijadikan alat kekuasaan oleh satu pihak, akan tetapi menjadikannya sebagai pelindung yang memberikan mashlahat di seluruh sendi-sendi kehidupan manusia.

Tidak Ada yang Salah dalam Bersikap Kritis

Dalam kitab Maroqil ‘ubudiyah Syarh Bidayatul Hidayah karya Syeikh Nawawi al-Bantani, juga menceritakan hal yang senada. Alkisah, ketika Syeikh Man’usy al-Magribi menggelar pengajian yang dihadiri oleh beberapa ulama dari empat madzhab. Namun ketika seorang pemuda bernama Hamdan menyanggah pandangannya, beliau berkata: “tidak ada permusuhan di antara kita dan kebenaran, sekalipun itu datang dari anak kecil, dan di antara kekhususan kami adalah menerima kebenaran.”

Baca Juga: Menjadi Muslim Liberal: Menuju Kedewasaan Intelektual

Walhasil, sikap kritis senantiasa kita butuhkan dalam ruang intelektual baik keagamaan atau yang lainnya, selagi itu tidak keluar dari garis teoritis dan etika keilmuan. Kisah tersebut, juga  mengingatkan kita untuk terus kritis pada siapapun itu, yang tiada lain demi suatu kebenaran. Pun juga bagi yang lebih sepuh, untuk bersikap lebih terbuka dan inklusif.

Sebab, mau sampai kapan kebenaran agama dimonopoli oleh pihak-pihak yang ingin memuaskan kepentingan dirinya?

Pentingnya Nalar Kritis Bagi Perempuan

Dari fakta-fakta ironis yang kita saksikan, seperti kasus pelecehan seksual yang terjadi di ruang pendidikan, baik formal atau non formal. Atau kisah Walid dalam film Bida’ah (2025), yang menginginkan perempuan cantik untuk dijadikan istri bathinnya. Pada kasus yang sedemikian, perempuan kebanyakan menjadi korban, sekaligus perannya cenderung dibungkam.

Baca Juga: Zakat Fitrahnya Bayi yang Lahir Setelah Maghrib Di Akhir Ramadan

Sehingga nalar yang kritis dalam suatu persoalan yang sedemikian, sangatlah penting bagi siapapun, terlebih perempuan. Seperti yang dikutip oleh Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm dalam Nalar Kritis Muslimah Refleksi Atas Keperempuanan, Kemanusiaan, dan Keislaman (2020), dari teori Women’s Ways of Knowing. Teori ini mengklasifikasikan lima level cara perempuan mengetahui sebuah pengetahuan.

Pertama, level diam (silent). dalam level ini perempuan memiliki ketergantungan total pada subjek lain. Sehingga pengetahuan yang ia peroleh dari orang lain ia teerima begitu saja, meskipun dapat mengancam dirinya, dan pada level ini ia belum dapat menggunakan nalar kritisnya untuk memberikan feedback.

Kedua, pengetahuan terterima (received knowledge). Pada tingkatan ini perempuan mempercayai atas pengetahuan adalah kebenaran semata, tanpa menimbang pengetahuan itu dari siapa dan dari mana. Di sisi lain, pada tingkatan ini perempuan juga tidak membandingkan pengetahuan pada sumber yang lain.

Ketiga, pengetahuan subjektif (subjective knowledge). Tingkatan ini lebih tinggi, sebab perempuan sudah menggunakan subjektivitas dirinya sebagai alat pertimbangan atas pengetahuan yang ia dapatkan. Seperti pengalaman personal atau yang lainnya, yang ia jadikan sebagai bahan pertimbangan. Contoh ketika ia mendapatkan pengetahuan, bahwa perempuan dapat dipoligami, ia akan membandingkan dengan pengalaman yang pernah ia lakukan, seperti bertemu dengan ulama lain atau menimbang dari sisi emosionalnya.

Baca Juga: Esensi Pertunjukan Seni Bantengan: Tradisi, Hiburan dan Persfektif Agama

Keempat, pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Perempuan mulai menyadari pengetahuan dari sisi objektifnya. Ia mulai menimbang apa yang ia dapatkan dengan sumber lainnya, sehingga ia dapat menyimpulkan kesimpulan yang bulat. Pendeknya ia mulai membandingkan pengetahuan dengan sumber pengetahuan lainnya.

Kelima¸pengetahuan kukuh (constructed knowledge). Perempuan tidak hanya merangkai beberapa sumber pengetahuan, melainkan bersandar pada kerangka objektif dan memverifikasi serta meletakkan pengetahuan secara kontekstual. Pendeknya, ia tidak mudah percaya pada otoritas begitu saja, namun kuat atau tidaknya argumentasi pada pengetahuan tersebut.

Melalui teori ini, setidaknya dapat kita ketahui bahwa begitu pentingya nalar kritis, terlebih bagi perempuan yang rentan menjadi sasaran kejahatan berkedok agama. Sebab kini, agama yang seharusnya membebaskan, justru kerap jadi penjara, terutama ketika doktrin dibungkamkan oleh kuasa, bukan oleh kebenaran.

Profil Penulis
Muhammad Asyrofudin
Muhammad Asyrofudin
Penulis Tsaqafah.id

8 Artikel

SELENGKAPNYA