Fenomena berburu Labubu yang kemarin viral itu adalah salah satu dari gejala FoMO (Fear of Missing Out), yaitu suatu istilah untuk menyebut sebuah perasaan takut ketinggalan tren, berita, atau hal lain yang sedang terjadi. FoMO bisa terjadi dalam berbagai konteks, seperti kehidupan sosial, pekerjaan, pendidikan, dan hobi.
Kamu yang kemarin ngikutin berita Labubu, boleh dong mampir sebentar di artikel ini.
Dalam berbagai video yang diunggah di beberapa platform media sosial itu terlihat orang-orang dewasa dan anak-anak antri berdesak-desakan untuk mendapatkan labubu.
Let me tell you, kalau Labubu adalah boneka kecil yang berukuran 4-40 cm. Boneka ini merupakan karakter elf yang dibuat oleh seniman Belgia kelahiran Hong Kong bernama Kasing Lung. Boneka Labubu memiliki telinga panjang serta gigi yang menonjol.
Baca Juga : Harmoni Malam: Relaksasi dengan Musik Islami untuk Atasi Insomnia
Boneka Labubu adalah produk dari Pop Mart di mana Kasing Lung telah melakukan perjanjian lisensi eksklusif, sehingga boneka Labubu yang awalnya adalah karakter dalam buku bisa diproduksi menjadi boneka.
Labubu tidak hanya populer di Indonesia, namun juga di Thailand, Myanmar, China, Jepang, Malaysia, dan Vietnam. Boneka ini dibandrol dengan harga 1-1,5 juta rupiah.
Kenapa Labubu menjadi ramai dan penting?
Fenomena berburu Labubu yang kemarin viral itu adalah salah satu dari gejala FoMO (Fear of Missing Out), yaitu suatu istilah untuk menyebut sebuah perasaan takut ketinggalan tren, berita, atau hal lain yang sedang terjadi. FoMO bisa terjadi dalam berbagai konteks, seperti kehidupan sosial, pekerjaan, pendidikan, dan hobi.
Erin Vogel, Ph.D, Psikolog Sosial dan Profesor di Pusat Ilmu Kesehatan Universitas Oklahoma, dikutip dari Forbes Health, menyatakan bahwa FoMO berkaitan erat dengan perasaan kehilangan, dan ini sudah diderita manusia sejak lama. “Manusia ingin merasa bahwa kita diikutsertakan seolah-olah kita adalah bagian dari suatu kelompok,” kata Erin.
Fenomena FoMO melibatkan sense of belonging, manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan hubungan mendalam dan esensial secara fisik dan mental demi kesehatan jiwanya. Dengan berburu Labubu, sebagian dari kita merasa terhubung satu sama lain dalam lingkungan sosial yang lebih luas.
Berbagai penelitian menyebut bahwa perilaku FoMO didorong oleh penggunaan media sosial yang intens. Kita menghabiskan waktu paling tidak 147 per hari untuk berada di media sosial.
Baca Juga : Esensi Pertunjukan Seni Bantengan: Tradisi, Hiburan dan Persfektif Agama
Menurut World Journal of Clinical Cases, istilah “fear of missing out” populer pada 2004, saat Facebook diluncurkan. Konten yang dibagikan di Facebook sering membuat orang membandingkan hidup mereka dengan orang lain yang memicu untuk terus mengunggah foto.
Is having Fomo a bad thing?
Menjawab pertanyaan ini, jadi ingat sebuah artikel di TIME, yang menyebutkan kalo FoMO ini berasal dari perasaan ketidakbahagiaan. Bayangin, kita beberapa kali memeriksa media sosial, memastikan mengikuti tren hanya karena takut dianggap tidak terkini. It’s certainly not a good thing dan berasal dari anxiety.
Perilaku FoMO mendorong manusia kehilangan kesadaran, ketika kita hanya memikirkan untuk tidak ketinggalan tren, itu adalah awal dari kecemasan perasaan tidak dianggap, yang pada akhirnya kita kehilangan mindful and being present. Kita mengalami sebuah kegagalan dalam menemukan kesadaran pada waktu saat ini.
Mengatasi FoMO ala Imam al Ghazali
Jika Fomo diasosiasikan dengan sense of belonging dan perasaan kecemasan, maka bisa dibilang bukan manusia modern saja yang merasakannya. Sekelas Imam al-Ghazali juga pernah dihantui perasaan fear of missing out, yaitu tatkala beliau gelisah dengan perjalanan hidupnya.
Ketika berada di puncak popularitas, dengan banyaknya murid yang datang kepada dirinya, banyaknya jama’ah yang berbondong-bondong mendengarkan ceramahnya, tapi justru Imam al-Ghazali terus dihantui ketakutan dan pertanyaan tentang kebenaran Ilahiah, tak jarang kondisi itu menyerang kesehatan fisiknya.
Kondisi tersebut mendorong Imam al-Ghazali untuk melakukan uzlah, mengasingkan diri dan bepergian ke tempat-tempat di mana tidak ada orang yang mengenalnya.
Baca Juga : Mencintai Anak dengan Tulus: Nasehat Gus Baha
Imam al-Ghazali mengalami penderitaan yang mendalam dalam pencariannya akan kebenaran, yang ia kisahkan dalam kitab al-Munkidz min al-Dhalal. Di tengah kegelisahan spiritualnya, ia menyadari bahwa kebenaran tidak dicapai melalui akal semata, melainkan melalui percikan cahaya ilahi yang menyentuh hati manusia. Kesadaran ini datang kepadanya setelah perjalanan panjang dalam kesendirian.
Let’s say, kita yang hidup di jaman modern ini, dengan segala kecanggihan teknolongi yang mengelilingi kehidupan, agaknya sangat perlu belajar dari Imam al-Ghazali, yaitu tentang menemukan kesadaran (consciousness).
Nggak harus dengan uzlah atau menyendiri ke Gua Hira juga sih, kita bisa mencoba menemukan kesadaran dengan fokus pada hal-hal yang sedang kita lakukan saat ini (mindfulness), melakukan meditasi, atau belajar khusyu ketika shalat, dan membaca al-Qur’an. Dengan mencapai kesadaran, kita bisa memegang kendali atas diri dalam mengarungi lautan badai informasi dan tren terkini yang terkadang tidak membawa keuntungan berarti untuk hidup kita.