Tsaqafah.id – “Selera memang tak bisa ditawar”. Ungkapan itu keluar ketika sudah kadung suka pada satu tempat makan. Pantas saja sebagian orang yang sudah kadung menyukai satu tempat makan, dia selalu merekomendasikannya kepada orang lain secara cuma-cuma.
Tidak sedikit dari para perantau ketika sedang pulang kampung berharap bisa mengobati kerinduannya dengan memilih makanan yang bisa mengembalikan selera “lidah pantura”-nya.
Lalu apa tolak-ukur dari “mengembalikan selera lidah” itu? Menjawab itu, saya akan kembali menyodorkan sebuah kisah berhujah.
—
Dalam sebuah acara, Kang Piter mengamati sekeliling ruang, menjamah seluk-beluk ekspresi orang-orang yang menjiwai shalawat. Terlihat pula Kang Adwa yang berdiri di sudut sedang menangis, sesenggukan.
Dia sendirian. Tangisan itu beriringan dengan mulut yang komat-kamit mengikuti lantunan shalawat dari kiai sepuh, tanpa iringan musik.
Meski sudah lama kami tidak bersua, Kang Piter segan untuk menghampirinya. Dia hanya bergumam, “Ah, nanti saja. Nunggu dia selesai dengan kenikmatan itu.”
Selang beberapa menit, shalawat mahalul qiyam itu pungkas. Pada saat itu pula Kang Piter memberanikan diri menghampiri sembari menahan untuk tidak bertanya ihwal kenapa dia menangis. Sebab, bagi Kang Piter pertanyaan itu hanya akan merusak suasana hatinya.
Baca Juga: Panduan Menyambung Obrolan Renyah dengan Umat Beda Agama
“Eh, Kang Piter. Apa kabar?” Berniat menyapa duluan, Kang Adwa menyapa Kang Piter yang masih berjalan mendekatinya.
“Baik, Kang. Sampean?”
“Sehat kok. Eh kang, sampean pernah mencoba makan Kelan Sembilang belum?”
Kang Piter mulai masygul, pertanyaan seperti itu kenapa ditanyakan di saat-saat seperti ini. “Sudahlah, kan aku yang ngasih rekomendasi ke sampean. Kenapa?”
“Oh iya. Lupa. Hehe. Rasanya itu lho seger-seger bahagia, membekas. Bumbu rempah yang dipakai sudah lama nggak aku rasakan.” Kang Adwa memberi penjabaran yang sudah berkali-kali diulang tapi tidak membosankan. Sebab bagi Kang Piter, gaya penjabarannya menyerupai ekspresi Maestro Kuliner, Bondan Winarno seusai menikmati satu menu masakan.
Baca Juga: Kisah Umar bin Khattab dan Perempuan Pedagang Susu
Pada sebuah pagi yang terik, Kang Piter yang sedang duduk di depan jendela menyelesaikan sebuah deadline pekerjaan, lamat-lamat mendengar notifikasi telepon di ponsel pintarnya. Bangkit dari kursi, Kang Piter melihat notifikasi itu datang dari temannya, Kang Adwa yang meminta rekomendasi tempat untuk wisata lidah, alias kuliner. “P! P! P! Rekomendasi kuliner khas Pantura dong.”
Kang Piter terdiam sebentar. Sejak lima tahun silam Kang Adwa memang sudah berpindah domisili di Jawa Barat. Dia bekerja di sebuah perusahaan entertainment tersohor negeri ini. Kenapa dia tiba-tiba menginginkan kuliner khas Pantura? Bukannya kalau sudah di rumah, masakan rumah juga merupakan masakan Pantura?
“Bedalah. Masakan di rumah itu masakan ibu, bukan masakan pantura.” Bantahnya secara alegoris.
“Terus maumu masakan pantura yang seperti apa?” Kang Piter terus bertanya. Mengejar.
“Pokoknya yang bisa mengembalikan selera lidah panturaku. Masak lima tahun cuma Nasi Padang, Mie Ayam, Sego Pecel SGPC, Tahu Gejrot Padang lagi. Kan kurang bergairah.”
“Ah, bisa saja kamu. Yaudah, kalau Kelan Sembilang Wak Kasan gimana? Saya yakin lidahmu semangkin bergairah.”
Obrolan singkat via aplikasi pesan berjejering itu berujung Adwa yang pengin ditemani Kang Piter makan di sana. Sampai-sampai dia ketagihan.
Kelan Sembilang merupakan salah satu olahan masakan yang kental citarasa Pantura (Pantai Utara Jawa). Seperti asem-asem, warna kuning dari endapan kunir dipadu dengan racikan bumbu dapur dan potongan daun loncang, sekilas terlihat seperti makanan rumahan. Tapi aroma dan kuah kentalnya memancing lidah penikmatnya basah, tergiur. Menu ini biasanya langsung disajikan dari kuali panas dengan sepiring nasi.
Untuk bisa sampai ke tempat Wak Kasan pengunjung harus masuk ke sebuah desa dan melewati ber-hektar tambak. Kalau sudah tiba di sana, umumnya tempat parkir sudah berjejal penuh mobil dan motor, antriannya mengular.
Tempatnya sangat sederhana, terdiri dari gubuk kayu, amben sebagai tempat duduk pelanggan, dibumbui dengan angin yang sedikit-sedikit mengantarkan aroma tambak yang hangat dan gurih. Bangunan warung yang rata-rata berbahan bambu itu sama sekali tidak mengurangi efek kejut dari Kelan Sembilang sendiri.
Baca Juga: Perkara Sandal Jepit dan Kaum Tipis Iman Menyifati Tuhan
“Seger-seger bahagia gimana maksudmu?” Kang Piter mencoba menuntaskan kemasygulannya.
“Tadi pagi aku makan itu, Kang. Sampai sekarang, gurihnya masih terasa. Gurihnya seperti menuntunku untuk menziarahi sesuatu. Sesuatu yang lama tertimbun oleh diriku sendiri. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak pernah ku kunjungi. Sesuatu yang kini mulai asing.” Jelas Kang Adwa.
“Apa itu?”
“Keberanian. Bahwa aku sering tidak berani menolak ajakan seseorang meskipun aku tahu itu menganggu jadwalku. Aku sering tidak berani menyuruh orang sedikit beradab kepada sesama. Aku sering tidak berani memarahi seseorang yang aku tahu bahwa dia benar-benar salah. Aku sering tidak berani memarahi diriku sendiri.”
“Jadi ini alasanmu menangis?”
“Tidak. Alasanku tetap Kelan Sembilang.”
“Kalau bubur. Bilang bubur. Jangan bilang nasi kebanyakan air.” Gertak Kang Piter.