Tsaqafah.id – Al-Khidmah menjadi wadah dalam mengajak penerus dari generasi muda, anak-anak keturunan dan keluarga untuk memperjuangkan dan meneruskan amaliah orang-orang soleh.
Tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi adalah untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Al-Qur’an surat Al-Dhariyat ayat 56 telah secara terang menyebutkannya.
Akar kata ibadah ini semakna dengan mengabdikan diri, berdedikasi dan menghamba. Dengan kata lain, ibadah adalah bentuk bakti kepada Allah SWT, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Selama ini kita hanya menganggap bahwa ibadah itu terbatas hanya pada sholat, puasa, zakat dan bentuk amalan keagamaan lainnya. Padahal semua ini bisa dilaksanakan dengan kesehatan badan dan keluasan harta benda.
Harta benda diperoleh dengan bekerja, sehingga bekerja termasuk ibadah karena menjadi perantara agar bisa melakukan ibadah. Dalam Fikih berlaku kaidah “Setiap sesuatu yang dibutuhkan untuk melakukan ibadah yang wajib, maka dikategorikan wajib juga hukumnya”.
Baca Juga
- Kiai Asror: Penyebar Islam, Penulis Manuskrip Al-Quran Kuno di Ponorogo
- Kisah Penyakit Misterius dalam Kitab Usfuriyah
Tidak jarang juga kita mendengar istilah ulama al-amilin, yaitu orang alim yang mengamalkan ilmunya. Ilmunya tidak hanya pengetahuan belaka, melainkan juga dibuktikan dalam bentuk mengamalkannya.
Bentuk pengamalan ilmu ini tentu tidak terbatas pada ibadah secara nyata. Terdapat aktivitas ibadah samar (ibadah ghairu mahdloh) di mana para pelakunya melakukan amalan berupa ibadah tanpa merasa sudah beribadah. Berprofesi sebagai petani dan nelayan adalah di antara bentuk ibadah untuk memenuhi perintah menafkahi keluarga di rumah.
Dalam suatu maqolah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berpesan. Kurang lebih makna kalimat yang disampaikannya adalah “Bergeraklah, karena dalam setiap gerakan terdapat keberkahan”. Tak lain ‘gerakan’ yang dimaksud di sini adalah perbuatan positif yang menyebabkan perubahan ke arah kebaikan.
Baca Juga Ahli Surga Tidak Memandang Wajah
Bagi pelajar yang sedang dalam masa mencari ilmu, maka yang dimaksud adalah ‘bersungguh-sungguhlah’ dalam menghilangkan kebodohan. Seolah Sayyidina Ali sedang berkoar “Berinovasilah wahai umat Islam. Berbuatlah kemanfaatan. Jangan hanya diam saja, lakukan sesuatu dan berilah perubahan”.
Kerja nyata ini dalam istilah di pendidikan tinggi negeri dikenal sebagai praktik pengabdian kepada masyarakat. Kaum akademisi dibebani tanggung jawab tidak hanya belajar secara teoritis di ruang perkuliahan. Mereka juga perlu terjun ke masyarakat untuk mengamalkan apa yang telah ia dapatkan. Memberikan pelayanan demi perubahan sebagai salah satu persayaratan kelulusan.
Dengan alasan ini, KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi membentuk organisasi Al-Khidmah yang resmi didirikan pada 25 Desember 2005 M. Bertepatan 23 Dzulqa’dah 1436 H. Tugas Al-Khidmah adalah fasilitator atas terselenggaranya majlis dzikir yang didakan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah.
Baca Juga Menyambut Bahagia, Abu Lahab Dapat Diskon
Al-Khidmah menjadi wadah dalam mengajak penerus dari generasi muda, anak-anak keturunan dan keluarga untuk memperjuangkan dan meneruskan amaliah orang-orang soleh. KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi senantiasa menganjurkan jamaahnya agar manut dan ikut kepada hasil keputusan kepengurusan Al-Khidmah.
Lebih lanjut, Kyai Asrori memberi arahan atas perjalanan Al-Khidmah ini dalam salah satu kutipan pengajiannya. “Kelola dan tangani serta atasi dengan sungguh-sungguh sepenuh hati. Oleh pihak yang berilmu yang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya secara profesional, jujur, terbuka, serta siap menerima segala saran, kritikan dan teguran-teguran baik dan membangun”.
Upaya ini termasuk implementasi hadits “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan dampak manfaat kepada manusia lainnya”. Selaras dengan ini Al-Khidmah punya jargon. “Wa bil khidmati intafa’uu wa bil hurmati irtafa’uu”. Dengan memberikan pelayanan maka hidup akan bermanfaat, dengan takzim dan hormat maka derajat akan terangkat.
Baca Juga Basyar dan Bani Adam: Telaah Makna Kata Manusia dalam Al-Qur’an
Ajaran dalam tasawuf merangkumnya sebagai bentuk jalsah wa suhbah. Membiasakan diri senantiasa berguru, berkumpul dengan orang-orang saleh serta memberikan pelayanan kepadanya.
Dalam suatu kisah yang pernah disampaikan oleh KH. Melvin Zainal Asyiqin pada kesempatan Haul Ngroto tahun 2018. Beliau menyampaikan bahwasanya dulu ada seorang murid bernama Ali yang tugasnya adalah mempersiapkan segala kebutuhan gurunya, Habib Ali.
Di tengah pengajian tiba-tiba datang seseorang berpenampilan dekil yang bersalaman dengan Habib Ali, lalu pergi begitu saja. Habib Ali menyampaikan bahwa orang tersebut adalah Nabi Khidir dan sontak para santri mengejarnya untuk bisa bersalaman dan mendapatkan keberkahannya.
Tidak demikian dengan Ali yang masih diam di tempat. Melihat Ali yang tertinggal sendirian itu, sang guru menanyainya “Tidakkah kamu mengikuti teman-temanmu yang lain?”. “Saya memilih untuk tetap berkhidmah kepada engkau wahai guru, karena setiap hari engkaulah yang mengajariku” jawab Ali.
Baca Juga
- Quraish Shihab dan Kontroversi Larangan Penyebutan Kafir Bagi Non-Muslim di Eropa
- Laki-laki Nasrani yang Menyebabkan Rasul Memanjangkan Waktu Rukuknya
Atas kesungguhan dalam berkhidmah ini, Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi pengarang kitab Simthud Durar kemudian melontarkan pernyataan. “Barangsiapa yang bertawasul kepadaku dengan tanpa menyebutkan nama Syaikh Ali Baros (murid beliau) maka aku tidak akan menerimanya”.
Kebanyakan kita tentu tidak akan mampu beribadah dengan benar tanpa keberadaan guru yang mengajar. Bahasa kasarnya, kita tidak bisa khusyu’ kecuali dengan perantara guru yang selalu memantau dan mengawasi. Lebih jauh lagi, kita tidak memperoleh keberkahan tanpa jasa guru. Al-mudlof ila al-‘adzim ‘adziim. Kita turut terdongkrak namanya berkat popularitas nama guru.
Tidak heran jika Syaikh Al-Zarnuji melalui kitab Ta’limul Muta’alim-nya berkata: “Saya mendahulukan (khidmah kepada) guru dari pada orang tuaku, meskipun saya mendapatkan kemuliaan dan keutamaan darinya”. Karena berkat gurulah kita akan mendapatkan kebahagiaan besar berupa surga yang abadi kelak nanti.
Keberhasilan seorang pelajar adalah tergantung pada rido dan restu gurunya. Keduanya ini bisa digapai dengan turut berbuat sesuatu yang dapat membahagiakan hatinya. Membersihkan pesantrennya, turut ngopeni santrinya ataupun hal-hal lain sesuai dengan apa yang kita bisa.
Terlepas dari itu semua, sudah sepantasnya bagi kita untuk mempersembahkan pengorbanan dan perjuangan terbaik. Sebagai wujud kecintaan kita kepada-Nya. Apalagi al-Qur’an sudah ada perintah dalam Al-Qur’an. Semoga kita tergolong sebagai orang yang selalu bisa berkhidmah dan menggapai ridha Allah ta’ala. Aamin.