“My Garden Over Gaza”: Yang Subtil Tapi Juga Terang untuk Anak-Anak

“My Garden Over Gaza”: Yang Subtil Tapi Juga Terang untuk Anak-Anak

15 April 2025
88 dilihat
3 menits, 10 detik

Penulis                          : Sarah Musa

Editor                            : Hajera Khaja

Ilustrator dan Desainer: Saffia Bazlamit

Penerbit                        : Ruqaya’s Bookshelf

Tahun Terbit                  : 2022

Halaman                        : 16 halaman

Tsaqafah.id – Belakangan kita melihat bagaimana publik mengedukasi diri terkait penjajahan Israel atas Palestina dalam taraf masing-masing. Banyak akun-akun media sosial yang berbagi pengetahuan baik berupa narasi maupun infografis. Esai-esai dan buku-buku yang mencoba memberi pandangan atas kolonialisasi ini juga lebih banyak bermunculan. Tak ketinggalan pula terbukanya ruang-ruang diskusi dan ceramah. Ini menjadi sinyal baik, meski sikap kritis tak bisa ditanggalkan karena tak sedikit informasi justru misleading, membelokkan fakta penjajahan ke isu-isu lain.

Berita genosida Israel terhadap Palestina tak pelak juga memapar anak-anak. Di sini kemudian muncul kebutuhan untuk mengedukasi anak-anak dengan pengetahuan yang kredibel. Saat mencari bacaan yang tepat untuk anak, saya tertarik mencoba buku ini: “My Garden Over Gaza”.

Buku ini menjadi satu di antara berbagai judul lain bertema Palestina yang ditawarkan oleh penjual buku anak impor langganan saya, akhir 2023 lalu. Dari deretan buku itu, judul yang paling menarik minat saya justru “Train to Al Aqsa” dan “Stand for Palestine”. Dari tajuknya, isi kedua buku itu sudah tergambar, tentang penjelasan komplek Al Aqsa dan pesan keberpihakan pada Palestina. “My Garden Over Gaza” agak sulit ditebak. Tapi setelah membaca sinopsisnya, saya tertarik memesannya bersama kedua buku sebelumnya.

Baca Juga: Merayakan Jilbab, Merayakan Keberagaman Muslimah

Noura, tokoh sentral dalam cerita ini, adalah seorang gadis remaja Palestina yang mencoba bertahan di tengah penjajahan. Buku ini menggunakan aktivitas menanam untuk menggambarkan betapa payahnya hidup di tengah kolonialisasi. Noura tinggal bersama adik dan ibunya yang membuka jasa jahit. Di rumah sederhana itu, Baba (ayah) Noura membuat kebun kecil di rooftop.

Cerita dibuka dengan desingan drone di atas rumah mereka. Menyadari bahayanya, Noura mencoba mengalihkan perhatian Esam, adiknya, dengan bercerita tentang Babanya. Saat muda, sang Ayah memiliki kebun besar dekat kota Umm An-Naser. Kebun itu ditanami zucchini, kentang, dan melon. Namun semenjak penjajah mengisolasi mereka di jalur Gaza dengan membuat tembok tinggi, Baba tidak bisa lagi kembali ke kebunnya. Sejak itulah Baba menginisiasi kebun di atap rumah mereka.

Noura digambarkan sebagai gadis yang energik, kritis, dan berani. Ia mengajari Esam menanam hingga memasak rebusan kacang hijau untuk ibunya yang bekerja keras. Pada ibunya mempertanyakan kenapa mereka harus hidup begitu susah bahkan untuk memperoleh sedikit daging.

Baca Juga: Dua Cara Al-Qur’an Merespon Praktik Poligami

Konflik memuncak saat drone penjajah kembali datang dan menyemprotkan herbisida ke kebun kecil mereka. Noura murka. Ia mencoba menghalau drone itu dengan mengayunkan sekop. Ibu menariknya hingga tangis Noura pecah dalam dekapannya.

Ia meratapi tanaman-tanamannya yang akan segera mati. Ibu menenangkannya dengan berkata bahwa ia bisa menanam lagi. Noura tak habis pikir buat apa Ibu menyuruhnya menanam lagi. Ibu hanya mengatakan, ia bisa terus menanam seperti yang Baba lakukan.

Buku ini sukses mentransfer gemuruh di dada Noura. Ia mandi untuk membersihkan herbisida dari tubuhnya, “But on the inside, I’m still burning,” batinnya.

Bacaan ini bukan jenis kampanye yang penuh slogan tapi lebih pada living book yang meninggalkan kesan mendalam. Kata “Israel” bahkan hanya disebut sekali di bagian epilog. Diksi yang dipilih adalah “penjajah” untuk menegaskan penentangan pada tindakan, siapapun pelakunya.

Baca Juga: Cinta, Cemburu, dan Kesadaran yang Terlambat dari Novel Al-Majdulin

Buku ini diterbitkan oleh Ruqaya’s Bookshelf, penerbit indie berbasis di Ontario, Kanada, yang memang berfokus pada penerbitan buku anak yang merepresentasikan karakter dan protagonis Muslim. Ditulis dalam bahasa Inggris, menjadi penanda bahwa pengetahuan berkualitas terkait isu ini masih elitis. Jika harus menyebutkan satu kekurangan, mungkin adalah tidak adanya penomoran halaman di sepanjang naskah ini.

“My Garden Over Gaza” adalah bacaan tepat untuk membangun empati anak pada penjajahan Palestina. Dengan memotret satu segmen kecil aktivitas berkebun, anak-anak diajak merasakan nestapa hidup di tengah penjajahan. Kisah bagaimana Noura kembali menanam sambil menggumamkan lagu favorit ayahnya, lagu kebebasan, begitu menyayat hati. Ilustrasi bayang-bayang Baba yang telah tiada tambah mengusik perasaan. Saat pertama membaca buku ini, saya dan Azda, anak sulung saya, berkaca-kaca.

Tapi bacaan ini tidak hendak sekadar menggarisbawahi penderitaan melainkan juga resilensi. Setelah insiden drone itu, hari berikutnya, Ibu menghabiskan waktu bersama Noura untuk membersihkan kebun dan memberi bibit anggur untuk ditanam. Buku itu kemudian ditutup dengan kalimat Noura, “No matter what happens, I know I’ll never stop planting. Someday I will go back to Baba’s farm. Someday I will return.”

Baca Juga: At-Tibru al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk: The Ethics of Magnanimity Ulama dan Pemimpin

Akhirul kalam, “My Garden Over Gaza” adalah buku yang subtil tapi mengandung pesan jelas: lawan penjajahan!

Profil Penulis
khalimatunisa
khalimatunisa
Penulis Tsaqafah.id
Alumni CRCS UGM dan PP Al-Munawwir Krapyak, bisa dihubungi di [email protected]

24 Artikel

SELENGKAPNYA