Demonstrasi 22 Agustus : Lebih dari Unjuk Rasa

Demonstrasi 22 Agustus : Lebih dari Unjuk Rasa

27 Agustus 2024
109 dilihat
3 menits, 58 detik

Pada tanggal 21 Agustus 2024 ramai di media sosial, warga net mengunggah gambar Garuda berwarna biru bertuliskan ‘Peringatan Darurat’. Keesokan harinya, tidak butuh waktu lama, pada Kamis (22/8/2024) aksi massa telah tumpah ruah memenuhi depan gedung DPR/MPR di kawasan Senayan, Jakarta, seperti dilaporkan oleh cnbcindonesia.com. Tidak hanya di Jakarta, di kota-kota lain, seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Sumatra, dan Kalimantan juga menggelar aksi demonstrasi di kantor-kantor DPR setempat. 

Aksi tersebut dilakukan setelah DPR menetapkan RUU Pilkada hanya akan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024. Keputusan DPR dianggap cacat prosedur karena hanya dibuat dalam waktu semalam, setelah sebelumnya diumumkan judicial review MK yang akan diberlakukan, sebelum UU Pemilu disahkan, seperti dikutip dalam bbc.com. RUU ini juga akan memungkinkan putra Jokowi yang berusia 29 tahun, Kaesang Pangarep ikut serta dalam pemilihan umum di Jawa Tengah, sehingga memperoleh basis yang kuat bagi dinasti politik Presiden yang baru lahir. Inilah yang memicu gelombang aksi massa di berbagai daerah.

Mayoritas para pengunjuk rasa yang tergabung dalam aksi demonstrasi tersebut adalah anak muda, mereka adalah Generasi Z (Gen Z) yang saat ini tengah duduk di bangku kuliah dan anak-anak SMA/SMK. Aksi ini dianggap melanjutkan aksi sebelumnya pada tahun 2019 dalam ‘Reformasi Dikorupsi’ lalu ‘Gejayan Memanggil’. Ketiganya dimotori oleh anak-anak muda; Mahasiswa, anak SMA/SMK, dan masyarakat umum. Selain itu, aksi demonstrasi kali ini juga melibatkan beberapa tokoh publik yaitu artis, komika, dan influencer. Reza Rahadian yang merupakan aktor papan atas Indonesia, para komika seperti Bintang Emon, Arie Kriting, Mamat Alkatiri, Abdur Arsyad, para influencer seperti Ferry Irwandi juga melakukan orasi dalam aksi massa di depan Gedung DPR Jakarta Pusat. 

Baca juga : Demokrasi dalam Al-Qur’an

Semua yang memadati aksi demonstrasi tersebut, yaitu mayoritas Generasi Z (Gen Z) yang seringkali dianggap sebagai generasi yang susah diatur, pemalas, dan hanya menghabiskan uangnya di coffeeshop, nyatanya menunjukan mereka adalah generasi yang peduli pada nasib kehidupan berbangsa dan bernegara. Gen Z, yaitu kelompok penduduk yang dilahirkan setelah tahun 1996 sampai tahun 2012, saat ini adalah generasi dengan jumlah populasi terbanyak di Indonesia. Dari data BPS jumlah Gen Z adalah 74,93 juta jiwa atau 27,94% dari penduduk Indonesia yang mencapai 280 juta jiwa. 

Dilansir dari Pew Research Center, Gen Z memiliki pendidikan yang baik, tech-savvy, dan telah terbiasa hidup dalam diversity; perbedaan pandangan, ras, suku, agama, sangat cair dan santai bagi Gen Z. Mungkin inilah yang membuat demonstrasi sejak 2019 sampai tahun ini memiliki kesamaan; yaitu nihilnya narasi agama yang dibawa-bawa dalam aksi massa. Ini berbeda dari demonstrasi di Monas yang merespon Pilkada Jakarta pada tahun 2017 lalu, dimana erat dengan politisasi agama. Aksi demonstrasi sejak 2019 serasa lebih inklusif, semua golongan dari berbagai ras, suku, dan agama tergabung dalam satu aksi massa menuntut keadilan dari para pemangku kebijakan. 

Gen Z juga  memiliki berbagai perbedaan dengan generasi sebelumnya yaitu generasi Milenial, disamping berbagai kesamaannya. Generasi Milenial dibesarkan dalam kondisi ekonomi yang kuat dan tingkat pengangguran yang rendah, lalu pandemi Covid-19 datang, kondisi dunia menjadi penuh dengan ketidakstabilan. Gen Z tumbuh dewasa dalam kondisi seperti ini. Jika sebelumnya Generasi Milenial memandang masa depan dengan penuh optimis, Gen Z menatap masa depan dengan penuh rasa cemas. Itulah yang menyebabkan Gen Z sangat concern terhadap isu kesehatan mental.

Di Indonesia kita bisa merasakan bagaimana pandemi Covid telah mengguncang kehidupan kita, khususnya dalam lanskap ekonomi. Kita melihat Covid-19 telah merumahkan banyak pekerja, menutup banyak industri, dan transformasi teknologi yang cepat yang merubah budaya hidup. Kondisi ekonomi yang penuh ketidakstabilan tersebut membuat banyak Gen Z yang tidak cukup beruntung tidak bisa melanjutkan pendidikan. Kemudian banyaknya industri yang tumbang membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan setelah lulus sekolah. Dari data BPS, di tahun 2024 jumlah pengangguran Gen Z mencapai 9,89 juta jiwa, jumlah ini meningkat cukup tajam dari periode sebelum Covid-19 yaitu sebanyak 6,88 juta jiwa. 

Baca juga : Membangun Ulang Peradaban: Tantangan dan Peran Pemuda Islam

Melihat kondisi tersebut, tidak heran jika Gen Z menjadi generasi yang aktif dalam menyuarakan aspirasi politik. Mereka adalah generasi baru yang sadar bahwa kebijakan politik akan mempengaruhi kehidupan setiap individu baik secara langsung atau tidak, mereka terbuka pada informasi, dan memiliki imajinasi sendiri tentang kehidupan bernegara yang ideal. Media sosial telah memungkinkan terjadinya akses pengetahuan yang cepat. Generasi ini menginginkan pemerintahan yang responsif dalam merespon dinamika kondisi global yang terus berkembang, serta sistem politik yang berkeadilan dan setara, serta menjunjung nilai-nilai kebebasan.

Meski dalam demonstrasi kali ini juga menyisakan tanggapan sebagian kalangan bahwa turun ke jalan sama saja membela oligarki yang lain. Hal ini bisa dimengerti mengingat sistem politik kita dengan biaya yang mahal belum bisa lepas dari bayang-bayang praktik oligarki. Sehingga seringkali aksi massa dikooptasi oleh kelompok elit. Sistem politik yang saling serang-menyerang inilah yang memungkinkan berbagai elemen seperti hukum dan massa hanya digunakan sebagai alat. Namun, lebih dari pada itu, melihat dinamika kehidupan dan ghirah Gen Z, justru dapat dirasakan angin segar dalam kehidupan demokrasi kita, sebagai warga negara mereka tidak apatis, mereka ingin didengar dan terlibat, mereka peduli pada masa depan perjalanan Indonesia ke depan. Dalam moment seperti ini kita menangkap momentum yang tepat dan penuh peluang terbuka bagi tafsir dan agenda gerakan yang lebih progresif.

Sebagai generasi akhir Milenial atau sering juga disebut generasi Zilenial, saya memutuskan untuk tidak ragu-ragu bergabung dengan Gen Z dalam aksi ‘Peringatan Darurat’. Generasi inilah yang akan memutar roda kehidupan bangsa beberapa tahun kemudian, nilai-nilai warisan feodalisme yang masih membayangi generasi Boomer dan sebagian Milenial seperti praktik nepotisme ‘orang dalam (ordal)’ dan administrasi yang korup sudah saatnya digantikan dengan nilai-nilai politik yang berkeadilan, setara, dan menjunjung kembali asas Pancasila. Generasi Indonesia Baru telah lahir.

Baca juga : Menjadi Pemuda Islam Masa Kini

Profil Penulis
Umi Nurchayati
Umi Nurchayati
Penulis Tsaqafah.id

36 Artikel

SELENGKAPNYA