Tsaqafah.id – Keselarasan sosial merupakan fondasi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud nyata kehidupan bermasyarakat yang harmonis sangat penting bagi terciptanya lingkungan yang damai dan produktif. Dalam masyarakat yang beragam, baik dari segi budaya, agama, maupun latar belakang sosial, keselarasan sosial memainkan peran krusial dalam menjaga hubungan yang baik antarindividu.
Hal ini sejalan dengan Teori Strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens, di mana struktur sosial yang terbentuk dari interaksi individu menciptakan tatanan yang berkelanjutan, yang pada gilirannya mencegah terjadinya disintegrasi sosial.
Keselarasan sosial juga menjadi kunci dalam memperkuat solidaritas di tengah masyarakat. Menurut Teori Fungsi Sosial dari Émile Durkheim, solidaritas sosial terbentuk melalui pembagian kerja dan kesadaran kolektif yang memperkuat rasa kebersamaan. Ketika masyarakat mampu bekerja sama dan saling mendukung, tantangan yang dihadapi, baik berupa masalah sosial maupun bencana alam, dapat diatasi dengan lebih efektif.
Dalam situasi seperti ini, kekuatan kolektif yang lahir dari hubungan yang harmonis menjadi modal utama untuk bertahan dan berkembang bersama. Solidaritas ini tidak hanya penting untuk mengatasi masalah yang ada, tetapi juga untuk mencegah timbulnya masalah baru yang dapat merusak tatanan sosial.
Baca Juga Sumber Daya Tambang dalam Al-Qur’an: Pemanfaatan Bijak untuk Kesejahteraan Umat
Dalam artikel ini, saya ingin mengupas tentang tiga aktivitas sosial yang menjadi simbol utama keselarasan sosial, di mana setiap aktivitasnya memiliki peran penting dalam menjaga dan membangun keselarasan sosial di tengah masyarakat, yaitu ‘Malmingan, Tahlilan, dan Jagongan’. Ketiga aktivitas sosial ini bukan sekadar rutinitas mingguan, melainkan cerminan dari bagaimana masyarakat desa menjaga hubungan sosial dan nilai-nilai kebersamaan.
Makna dan Peran Malmingan
‘Malmingan’, yang merupakan istilah populer untuk malam minggu, di banyak tempat sering kali diisi dengan kegiatan-kegiatan santai setelah menjalani rutinitas yang sibuk sepanjang minggu, seperti rekreasi, jalan-jalan atau sekedar mencari hiburan di luar rumah. Namun, di desa tempat saya melakukan KKN, tepatnya di Desa Duwet Dusun Petungsewu Kec. Tumpang Kab. Malang Jawa Timur, Malmingan memiliki makna yang lebih mendalam karena bertepatan dengan pelaksanaan Tahlilan.
Tradisi Malmingan memiliki dimensi yang lebih luas karena menjadi ajang berkumpulnya seluruh lapisan masyarakat dalam suasana kebersamaan dan persaudaraan.
Dari sudut pandang sosial, ‘Malmingan’ memainkan peran penting dalam memperkuat ikatan sosial, baik di kalangan generasi muda maupun di antara anggota keluarga. Pada Malmingan, generasi muda memiliki kesempatan untuk berinteraksi lebih dekat dengan orang tua dan sesepuh desa, mengurangi jarak antar generasi yang sering kali menjadi sumber miskomunikasi.
Selain itu, Malmingan juga menjadi waktu yang berharga bagi keluarga untuk mempererat hubungan, karena pada hari-hari biasa, kesibukan pekerjaan sering kali menghalangi komunikasi yang intensif di antara anggota keluarga. Dengan berkumpul di malam Minggu, keluarga dapat saling bertukar cerita, memberikan dukungan emosional, dan memperbaharui rasa kasih sayang di antara mereka.
Baca Juga Menjaga Nikmat Sehat Melalui Makanan Tradisional
Dari dimensi keselarasan sosial, Malmingan juga berfungsi sebagai momen refleksi, komunikasi, dan penguatan solidaritas. Dalam suasana yang santai dan bebas tekanan, warga dapat berbicara tentang berbagai isu yang mungkin tidak sempat dibahas pada hari-hari biasa. Ini bisa mencakup masalah-masalah kecil dalam kehidupan sehari-hari hingga diskusi tentang permasalahan sosial yang lebih luas.
Malmingan, dengan suasananya yang hangat dan akrab, memungkinkan setiap individu untuk merasa didengar dan dihargai, yang pada gilirannya memperkuat rasa saling percaya dan keterikatan sosial. Tradisi ini juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama, yang merupakan landasan dari keselarasan sosial dalam bermasyarakat.
Fungsi Tahlilan dalam Mempererat Hubungan Spiritual dan Memperkuat Iman
Tahlilan memiliki peran penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat Muslim, terutama di Indonesia. Sebagai salah satu bentuk ibadah kolektif, tahlilan menjadi sarana untuk memperdalam hubungan spiritual antara hamba dengan Sang Pencipta. Melalui doa-doa yang dipanjatkan, warga yang mengikuti acara tahlilan mendoakan para almarhum agar mendapatkan ampunan dan tempat yang baik di sisi Allah SWT.
Dalam konteks ini, tahlilan juga memperkuat ikatan iman di antara para warga. Dengan bersama-sama melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an, zikir, dan doa, mereka tidak hanya memperkokoh hubungan spiritual dengan Allah, tetapi juga meningkatkan solidaritas keagamaan di antara sesama. Kegiatan ini menjadi pengingat kolektif akan nilai-nilai Islam, seperti kasih sayang, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial.
Dalam suasana tahlilan yang khusyuk, warga merasakan kehadiran spiritual yang mendalam, memperkuat ikatan batin dan menjadikan agama sebagai fondasi utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Baca Juga Membangun Ulang Peradaban: Tantangan dan Peran Pemuda Islam
Namun, lebih dari itu, tahlilan juga menjadi momen introspeksi bagi para jamaahnya, untuk mengingatkan diri akan kehidupan setelah mati, serta pentingnya mempersiapkan diri dengan amal baik selama masih hidup. Hal ini selaras dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya mengambil hikmah dari peristiwa kematian sebagai pengingat akan kefanaan dunia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ad Daqqaq rahimahullah:
“من أكثر ذكر الموت أكرم بثلاثة: تعجيل التوبة، وقناعة القلب، ونشاط العبادة، ومن نسى الموت عوجل بثلاثة: تسويف التوبة، وترك الرضا بالكفاف، والتكاسل في العبادة” تذكرة القرطبي : ص 9
Artinya: “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian maka dimuliakan dengan tiga hal; bersegera tobat, puas hati, dan semangat ibadah, dan barangsiapa yang lupa kematian diberikan hukuman dengan tiga hal; menunda tobat, tidak rida dengan keadaan dan malas ibadah.”
Tahlilan sebagai Sarana Memperkuat Tali Silaturahmi Antarwarga
Di luar peran keagamaan, tahlilan memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Sebagai tradisi yang dilakukan secara kolektif, tahlilan menjadi kesempatan bagi warga untuk berkumpul, berinteraksi, dan mempererat hubungan sosial. Dalam masyarakat pedesaan maupun perkotaan, tahlilan sering kali menjadi momen penting untuk memperkuat tali silaturahmi.
Warga yang datang dari berbagai latar belakang, baik keluarga, tetangga, maupun kerabat jauh, memiliki kesempatan untuk saling bertemu, berbagi rasa kehilangan, dan memberikan dukungan moral kepada keluarga yang ditinggalkan.
Keberadaan tahlilan juga menciptakan rasa kebersamaan yang erat di antara warga. Dalam suasana yang penuh kehangatan, tahlilan memungkinkan terjalinnya komunikasi yang lebih akrab dan terbuka, yang pada gilirannya memperkuat ikatan sosial di dalam komunitas. Tradisi ini mengajarkan pentingnya saling mendukung dalam suka dan duka, serta memperkokoh solidaritas sosial yang menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, tahlilan juga menjadi ruang untuk memperbarui dan mempererat hubungan antarwarga yang mungkin jarang bertemu dalam kehidupan sehari-hari, menjadikannya salah satu elemen penting dalam menjaga keselarasan sosial.
Baca Juga Melacak Budaya Islam di Pesisir Jawa Timur
Jagongan: Ruang Bercengkrama dan Kebersamaan
Setelah acara ‘Tahlilan’ selesai, momen sosial yang tidak kalah penting adalah ‘Jagongan’. ‘Jagongan’ merujuk pada kegiatan berkumpul setelah acara utama untuk berbincang-bincang secara santai. Di sinilah suasana benar-benar cair, ketika warga mulai saling bertukar cerita, berbicara tentang kehidupan sehari-hari, dan tidak jarang diselingi dengan guyonan atau candaan yang mengundang tawa.
‘Jagongan’ menjadi ruang di mana warga bisa lebih mengenal satu sama lain, memperkuat hubungan personal, dan merasakan kehangatan kebersamaan yang jarang ditemukan dalam interaksi sehari-hari yang terbatas.
Jagongan memiliki fungsi sosial yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai wadah informal, jagongan memungkinkan warga untuk berbagi informasi, pemikiran, dan solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi.
Dalam konteks ini, jagongan berperan sebagai jaringan komunikasi yang menghubungkan individu-individu dalam komunitas. Melalui percakapan yang berlangsung dalam suasana santai, warga dapat bertukar pengalaman, memberikan nasihat, dan mendiskusikan solusi untuk masalah yang ada. Fungsi ini sangat berharga terutama di daerah pedesaan, di mana akses terhadap informasi formal mungkin terbatas, sehingga jagongan menjadi sumber informasi utama dan alat untuk menyelesaikan masalah bersama.
Lebih dari sekadar ruang bercengkrama, jagongan juga memiliki dimensi keselarasan yang mendalam. Tradisi ini mendorong dialog antarwarga yang bersifat inklusif, di mana setiap individu, tanpa memandang status sosial atau latar belakang, memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara dan didengar. Jagongan menciptakan suasana kebersamaan yang erat, memperkuat rasa saling memahami dan toleransi di antara warga.
Baca Juga Kapan Lebaran Ketupat 2023? Ini Filosofi Ketupat Menurut Budayawan Kiai Jadul Maula
Dengan menciptakan ruang bagi dialog terbuka, jagongan membantu mengatasi perbedaan pendapat dan mengurangi potensi konflik, sehingga menjaga keselarasan sosial dalam bermasyarakat. Pada jangka panjang, jagongan berkontribusi terhadap terbentuknya solidaritas sosial yang kuat, di mana warga merasa memiliki keterikatan emosional satu sama lain dan siap untuk saling membantu dalam segala situasi.
Sinergi Antara Tradisi dan Agama dalam Membangun Keselarasan
Ketiga aktivitas ini—Malmingan, Tahlilan, dan Jagongan—bukan hanya rutinitas tanpa makna, tetapi mereka adalah simbol dari keselarasan sosial yang terjalin dengan erat di dalam masyarakat. ‘Malmingan’ yang dipenuhi dengan kegiatan spiritual melalui ‘Tahlilan’, diikuti oleh suasana hangat dan akrab dalam ‘Jagongan’, menciptakan sebuah siklus sosial yang mempererat persaudaraan, meningkatkan rasa saling peduli, dan memperkuat solidaritas antarwarga.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan keberagaman, kegiatan-kegiatan ini menjadi sarana untuk membangun dan menjaga keselarasan sosial, memastikan bahwa setiap individu merasa diterima dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Melalui pengalaman langsung selama KKN, saya menyaksikan bagaimana ketiga elemen ini saling melengkapi dalam menciptakan kohesi sosial yang kokoh, yang menjadi fondasi bagi kehidupan bermasyarakat yang damai dan harmonis.
Tradisi seperti Malmingan, Tahlilan, dan Jagongan memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai-nilai agama, menjadikannya simbol yang kuat dalam membangun dan mempertahankan keselarasan sosial. Malmingan, yang diisi dengan tahlilan, tidak hanya memperkuat ikatan spiritual di antara warga tetapi juga menjadi momen berkumpul yang mempererat hubungan sosial. Tahlilan sendiri adalah tradisi keagamaan yang kental dengan nilai-nilai Islam, di mana doa dan zikir bersama menjadi sarana untuk mengingatkan pentingnya saling mendukung dalam kehidupan spiritual dan sosial.
Baca Juga Ajining Diri Ana Ing Lathi Perspektif Kepemimpinan Islam
Sementara itu, Jagongan, meskipun lebih bersifat sosial, mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan dialog yang sejalan dengan prinsip-prinsip agama, di mana setiap individu dihargai dan diberi ruang untuk berbagi. Sinergi antara tradisi dan agama ini menciptakan fondasi yang kokoh bagi terbentuknya keselarasan dalam masyarakat, di mana aspek spiritual dan sosial saling menguatkan.
Aktivitas-aktivitas sosial tersebut berkontribusi secara signifikan terhadap perdamaian, kesatuan, dan kerukunan di masyarakat. Melalui Malmingan dan Tahlilan, warga tidak hanya memperkuat ikatan spiritual mereka, tetapi juga membangun solidaritas sosial yang mendalam. Kebersamaan dalam doa dan refleksi keagamaan ini menciptakan rasa persaudaraan yang kuat di antara sesama, yang pada gilirannya mengurangi potensi konflik dan meningkatkan kohesi sosial.
Sementara itu, Jagongan, dengan sifatnya yang inklusif dan dialogis, dapat menciptakan ruang berbincang dan membahagiakan hati dengan bersenda gurau bersama. Sehingga, ketiganya—Malmingan, Tahlilan, dan Jagongan—memainkan peran kunci dalam menciptakan masyarakat yang damai, bersatu, dan harmonis, di mana setiap individu merasa dihargai dan memiliki tempat nyaman untuk dapat menyegarkan rohani dan jasmani.