Tsaqafah.id – Konsep nasionalisme kini ditanyakan lagi relevansinya. Mereka yang pindah warga negara bukan lagi tidak mencintai negaranya. Menilik ke belakang, nasionalisme merupakan sebuah konsep yang abstrak. Ia muncul sebagai antitesis dari kolonialisme.
Pemberitaan pindah kewarganegaraan sebenarnya sudah banyak berhembus sejak lama. Salah satu penyanyi dan aktris kebanggaan asal Indonesia, Anggun C Sasmi sudah berganti menjadi warga negara Perancis sejak tahun 1994.
Penyanyi asal Kroya, Jawa Tengah itu memutuskan berganti warga negara demi memperlancar langkah karirnya menjadi penyanyi internasional.
“Ada banyak negara yang tidak bisa dimasuki karena tak ada perjanjian politik dengan Indonesia,”ungkap Anggun dalam sebuah Q&A di Instagram pada 2018 lalu.
Waktu itu keputusannya untuk berganti warga negara menuai banyak hujatan padanya. Ia sempat dikatakan sebagai kacang lupa kulitnya dan berbagai tuduhan lain.
Menanggapi hal tersebut pelantun Snow on the Sahara tersebut menegaskan, “Saya ingin memperkenalkan Indonesia, tetapi dengan cara yang progresif, dalam lirik, dalam suara, tetapi yang paling utama melalui diri saya sendiri.”
Mengenai keputusan Anggun tersebut mungkin baru bisa kita pahami hari ini.
Baca Juga
- Stigma Parenting Ala Orang Tua dan Tawaran Al-Qur’an Terhadap Ilmu Parenting Masa Kini
- Menangkap Matahari Terbit dari Dataran Tinggi Dieng
Saat pemberitaan penerima beasiswa LPDP ogah pulang ke negeri sendiri dan ribuan warga Indonesia pindah warga negara ke Singapura, kita berpikir lagi. Banyak sebab seseorang memilih tinggal di negeri orang, salah satunya adalah kemudahan hidup.
Tak usah jauh-jauh ke luar negeri dulu. Sebagai seorang yang biasa hidup di daerah orang saya juga merenungkannya, saya mendapat yang saya cari di tanah rantau, penghasilan yang sesuai, koneksi pertemanan yang luas, dan lingkungan yang seperti saya inginkan.
Suatu hari ketika saya pulang ke kampung halaman di sebuah desa saya tidak memiliki jalinan koneksi dan pertemanan seperti di tanah rantau. Kemudahan yang saya dapatkan di tanah rantau harus saya mulai dari nol. Dan seperti itu bukan perkara mudah.
Sebagai makhluk sosial kita cenderung nyaman berada di lingkungan yang sepadan, saling mengerti dan menghormati. Seorang yang ingin kembali ke kampung halaman harus berhadapan dengan dinamika ekonomi dan politik yang berbeda. Sehingga memang hanya orang-orang tangguh dan bermodal mumpuni yang bisa menaklukan segala dinamika kembali ke daerah asal.
Baca Juga Benarkah Nasionalisme Tidak Ada Dalilnya?
Saya jadi bisa membayangkan pergulatan seseorang yang memilih pindah warga negara. Sering kali alasannya bukan tidak cinta negeri sendiri tapi karena tuntutan berbagai hal. Apalagi sejak berakhirnya masa perang dunia ke-2, saat semua negara mulai membangun kembali ekonominya.
Kemudian atas kemajuan yang dicapai oleh semua negara, baik dalam segi ekonomi, teknologi, hubungan persahabatan antar negara, semua itu menjadikan batas antar negara semakin kabur. Perkembangan teknologi memudahkan aktivitas manusia dalam segala lini, jarak antar negara sudah bukan hal yang sulit ditembus.
Hari ini kita hidup dalam sebuah “desa global” (Global Village), kata Mc. Luhan yang memperkenalkan konsep tersebut dalam bukunya “Understanding Media: Extension of a Man”. Desa global menjelaskan tentang tidak adanya batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan sangat cepat.
Teknologi internet hari ini mendekatkan orang yang tidak saling mengenal bahkan dari negara di ujung selatan dan ujung utara bumi. Hal ini membuat persepsi masyarakat terhadap jarak berubah.
Baca Juga Habib Umar bin Hafidz Ungkap Tiga Lapisan Makna Mendalam dalam Basmalah
Dirjen Imigrasi Indonesia, Silmy Karim, mengatakan sebanyak 1.000 warga negara Indonesia (WNI) bertalenta pindah menjadi warga negara Singapura setiap tahun. Rata-rata dari mereka adalah usia produktif, memiliki keunggulan, expertise.
Silmy Hakim mengatakan, kepindahan sejumlah WNI ke Singapura karena ingin mendapatkan kesempatan dan kehidupan yang lebih baik adalah wajar. Namun jumlahnya yang cukup banyak, serta fakta kebanyakan dari mereka sedang di usia produktif, patut menjadi “alarm” akan kemungkinan pelarian modal manusia atau brain drain di Indonesia.
Bagaimanapun manusia akan mencari kesempatan hidup yang lebih baik dan membutuhkan ruang untuk beraktualisasi.
Konsep nasionalisme kini ditanyakan lagi relevansinya. Mereka yang pindah warga negara bukan lagi tidak mencintai negaranya. Menilik ke belakang, nasionalisme merupakan sebuah konsep yang abstrak. Ia muncul sebagai antitesis dari kolonialisme.
Di Eropa semangat nasionalisme mulai tumbuh sejak kerajaan-kerajaan mulai kehilangan eksistensi. Di Amerika semangat nasionalisme mulai tumbuh sejak abad ke-18 dengan salah satu tokohnya adalah Martin Luther King yang menentang perbedaan dan penindasan rasial terhadap orang yang memiliki warna kulit berbeda. Patung Liberty menjadi simbol kemerdekaan.
Baca Juga
- Liga Arab: Panggung Baru untuk Bintang-Bintang Muslim Eropa
- “Unfinished Indonesia”: Catatan Pergulatan Narasi Kebangsaan
Saat masa kolonialisme terjadi para pemimpin menghimpun kekuatan rakyat dengan nasionalisme, tujuannya adalah kebebasan dari sebuah kekuasaan yang menindas. Di Indonesia, benih-benih nasionalisme mulai tumbuh sejak abad 19.
Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru menceritakan bagaimana ketika kaum pribumi semakin banyak mendapatkan pendidikan Eropa mereka mulai berorganisasi. Pergerakan-pergerakan lahir di tanah Hindia Belanda, Sarekat Islam, Budi Oetomo, Organisasi pemuda Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dll.
Nasionalisme telah menyatukan berbagai bangsa yang ada di bawah awan gelap penderitaan yang sama ke dalam payung sebuah negara yang kemudian didirikan.
Sejak perang dingin berakhir dan kolonialisme tak lagi menancapkan akar, nasionalisme menemui tantangan lain. Hari ini teknologi telah menancapkan pengaruhnya yang begitu besar bagi umat manusia. Ketakutan jarak yang diderita manusia berabad lalu sudah bisa dijawab hari ini. Memiliki saudara yang ada di negara lain sudah tidak menakutkan.
Kini kehidupan sangat fleksibel. Semua orang hidup mengikuti ke arah mana rezekinya berlari karena dalam masyarakat kapitalis keberadaan uang adalah keniscayaan yang harus dicari. Negara lain terkadang menawarkan kemudahan yang tidak ditawarkan di negara sendiri, seperti sekolah gratis, kemudahan memperoleh dana riset, kebebasan berkarya, dan berbagai fasilitas lain.
Nasionalisme hari ini mungkin sedikit mengalami perkembangan, sejalan dengan hubungan antara negara dan warganya yang juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu.