Tsaqafah.id – Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia yang dijadwalkan tanggal 3-6 September 2024 mendapat sambutan baik, tidak hanya oleh umat Katolik tetapi juga dari berbagai umat beragama. Paus Fransiskus dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan progresif, beliau sering menyeru pada pesan-pesan untuk kembali memaknai kemanusiaan kita.
Paus Fransiskus kerap mengkritik praktik ekonomi kapitalisme yang dianggapnya kejam dan menindas orang miskin. Tidak hanya itu, krisis iklim juga menjadi perhatiannya, ia mengecam kebakaran hutan Amazon dan menyeru untuk melindungi alam dari bisnis yang serakah.
Belum lama ini bahkan Paus Fransiskus menyeru kepada manusia hari ini untuk kembali membaca karya sastra. Hal itu disampaikan Paus Fransiskus pada tanggal 17 Juli 2024 lalu, melalui surat yang diterbitkan dalam delapan bahasa yang berbunyi bahwa membaca karya sastra berupa fiksi dan puisi adalah kegiatan yang bermanfaat dalam perjalanan manusia menuju pribadi yang dewasa. Paus Fransiskus juga mengatakan kegiatan tersebut harus didorong untuk pelatihan para calon imam, seperti dikutip dalam laman The Guardian (5/8/2024).
Selain mengatakan tentang pilihan selera sastra pribadinya, Paus Fransiskus mengoreksi tentang pandangan membaca karya sastra yang banyak dipandang sebagai sebuah hiburan semata, ia menegaskan bahwa anggapan tersebut keliru, tidak sehat, dan berbahaya untuk masa depan intelektual dan spiritual manusia.
Dalam suratnya itu, Paus Fransiskus juga menyatakan keprihatinannya atas para seminaris yang lebih banyak merespon layar handphone beserta berita palsu dan kekerasan yang banyak tersebar di dalamnya.
Paus Fransiskus menyebut sejumlah manfaat membaca, termasuk menambah kosakata, merangsang imajinasi dan kreativitas, meningkatkan konsentrasi, mengurangi penurunan kognitif dan kecemasan, serta memungkinkan pembaca untuk mempersiapkan diri dan menangani berbagai situasi. Paus Fransiskus mengatakan bahwa buku yang bagus dapat menyediakan oasis yang menjauhkan kita dari pilihan lain yang kurang sehat.
Membaca berita tersebut kita tak lagi heran. Sebuah kondisi yang dikhawatirkan Paus Fransiskus memang nyata sedang menggerogoti kehidupan kita sebagai manusia modern. Informasi yang bergerak cepat tak urung memperbanyak berita hoax dan kekerasan dalam berbagai bentuk; seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual, kekerasan budaya, dan masih banyak lagi.
Kita tidak mempunyai mesin screening yang canggih untuk menyaring informasi yang sangat cepat tersebut selain diri sendiri untuk selamat dalam badai informasi yang kian binal.
Namun, apa boleh dikata bahwa untuk dapat menyaring sebuah informasi sehingga bermanfaat untuk kehidupannya, setiap individu membutuhkan pikiran yang dewasa, pikiran yang mempunyai banyak pertimbangan sebelum memutuskan suatu tindakan. Untuk menuju pemikiran yang dewasa tersebut manusia mau tidak mau, pada akhirnya berlomba-lomba antara penyebaran berita hoax dan kekerasan dengan proses pendidikan umat manusia.
Jika penduduk negara-negara maju dengan sumber daya manusia dan pendidikan yang lebih maju saja rawan termakan disinformasi, hoax, dan kekerasan, lalu bagaimana dengan penduduk di negara berkembang? Agaknya, kita berada di persimpangan krisis.
Sastra, itulah jawaban yang ditawarkan dalam menjawab krisis kemanusiaan dalam dunia yang semakin terpolarisasi. Seperti dikatakan Paus Fransiskus dalam suratnya; Membaca karya sastra membuat kita mengerti tentang sudut pandang orang lain dalam melihat realitas dan mengembangkan empati;
“Kita tidak boleh lupa betapa bahayanya jika kita berhenti mendengarkan suara orang lain ketika mereka memanggil kita! Kita segera jatuh ke dalam isolasi diri, memasuki semacam ‘ketulian spiritual’ yang berdampak negatif pada hubungan dengan diri kita sendiri dan hubungan kita pada Tuhan, tidak peduli seberapa banyak teologi dan psikologi yang telah kita pelajari,” tulis Paus Fransiskus.
Informasi Banal dan Dehumanisasi
Agaknya tidak berlebihan jika kita mengkhawatirkan arus informasi yang semakin cepat hari ini. Ketika semua orang tanpa didukung keahlian yang memadai semakin banyak memberikan pandangan di dunia maya dan mendapat dukungan banyak orang maka kondisi itu menciptakan efek viralitas yang tak jarang dianggap sebagai sebuah kebenaran, meski sebenarnya berisi informasi atau fakta yang keliru.
Informasi banal yang kian binal adalah salah satu wujud dari kecepatan yang dihasilkan masyarakat modern, yang bagi Paul Virilio (2007), ini memicu kekacauan. Menurut Virilio, kecepatan masyarakat modern telah menyebabkan ‘kecelakaan’ produksi secara massal. Kita mengalami peningkatan jumlah kecelakaan, dan ini menuntut metode baru untuk memahami dunia. Media memainkan peran penting dalam munculnya ‘kecelakaan’ ini.
Bagi Virilio, globalisasi dan masyarakat yang terhubung berarti bahwa jarak dan waktu telah runtuh, dan keruntuhan ini menyebabkan kita kesulitan menemukan diri kita sendiri atau objek apa pun. Simulasi berlipat ganda, dan kita mengalami delokalisasi:
“Dengan kebingungan yang terjadi antara ruang aksi nyata dan ruang retroaksi virtual, semua penentuan posisi pada kenyataannya, mulai menemukan diri kita dalam jalan buntu, yang menyebabkan krisis dalam perkiraan posisi.”
Paul Virilio, The Original Accident (2007)
Kecepatan informasi sukses membuat kita kehilangan jeda dalam proses memahami, alhasil informasi apa pun yang mendarat di ponsel kita, tanpa disadari kita amini sebagai sebuah kebenaran. Kondisi ini membuat manusia modern rawan terjerumus dalam sekat polarisasi yang dibawa oleh informasi yang cepat tersebut.
Kita cenderung tidak berpikir lama karena informasi terus datang membanjiri alam pikiran. Dalam arti lain kita kehilangan kesempatan berpikir dan kehilangan daya memahami dari berbagai sisi. Kondisi tersebut rawan membuat kita kehilangan daya empati dan kemampuan saling memahami, di mana tanpa kita sadari tengah berjalan menuju arah dehumanisasi.
- Penjelajahan Menelusuri Kota-Kota Mati
- Meleburkan Sekat Identitas, Menyelami Jalan Panjang Menjadi Manusia
Betapa banyak konflik kemanusiaan yang tak kunjung menemukan titik terang penyelesaian salah satunya adalah akibat dari hilangnya nilai esensial dalam memahami kehidupan antar manusia dan melihat realitas dari berbagai sudut pandang.
Bagaimana Karya Sastra Mendorong Perdamaian ?
Tak heran jika Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia, pada akhirnya menghimbau untuk membaca karya sastra, baik fiksi atau puisi. Membaca karya sastra telah disebut oleh banyak peneliti dapat meningkatkan rasa empati.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association (2017), mengemukakan bahwa membaca fiksi secara signifikan meningkatkan kemampuan kognitif sosial. Dimana keterampilan kognitif sosial telah terbukti berdampak positif pada hubungan sosial manusia sepanjang rentang hidupnya. Hubungan sosial yang kuat akan meningkatkan rasa empati, kesejahteraan, mencegah penyakit fisik, dan memperpanjang umur.
Dengan meningkatnya kemampuan kognitif, manusia bisa meningkatkan keterampilan saling mengerti sehingga menciptakan iklim saling menghormati dan menghargai, mampu melihat persoalan dari kacamata orang lain sehingga tidak mudah menyalahkan atau menghakimi.
Dalam jangka panjang, kemampuan kognitif yang meningkat akan mendorong lingkungan sosial yang damai, saling menghargai, dan suportif, yang pada akhirnya dengan nilai-nilai tersebut kita selamat dari bahaya ‘kekacauan’ yang disebut Virilio sebagai pengintai untuk memangsa manusia modern dalam perasaan asing dan penuh kecemasan.